Asia Tenggara jadi tempat pembuangan AC boros listrik, merugikan konsumen dan merusak iklim
Jutaan AC yang boros listrik dijual di negara-negara Asia Tenggara. Pemerintah seharusnya bisa menghentikannya, dan membantu konsumen untuk berhemat.

JAKARTA: Riki, seorang teknisi pendingin udara atau AC, belakangan ini sedang menangguk untung besar.
Delapan tahun menjalani profesi ini, rata-rata per harinya dia hanya mendapatkan lima panggilan untuk memasang atau mereparasi AC.
Tapi dalam dua bulan terakhir, Riki kebanjiran panggilan. Kini, pria 25 tahun itu bisa menangani 12 AC pelanggan setiap harinya.
Alasannya: Kemarau berkepanjangan yang membuat suhu udara mencapai hampir 40 derajat Celcius di beberapa daerah, salah satunya di Tangerang Selatan.
Penghasilan Riki sekarang sekitar 300.000 rupiah per hari, dua kali lipat dibanding sebelumnya. "Alhamdulillah ada banyak pekerjaan. Saya senang," kata dia.
AC memberi kesejukan bagi warga di Indonesia dan negara-negara tropis lainnya, terutama kala cuaca panas menerjang. Tapi riset terbaru menunjukkan, kebanyakan warga Asia Tenggara membeli AC yang tidak efisien alias boros listrik.
Berbagai pendingin udara itu kemungkinan juga dilarang dijual di negara pengekspornya, ujar laporan yang dirilis oleh CLASP, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang meneliti dan mendorong penggunaan perangkat hemat listrik dan akses masyarakat terhadap energi.
Beberapa AC juga disebut mengandung refrigeran atau zat pendingin dengan potensi pemanasan global yang tinggi, penyumbang perubahan iklim, membebani jaringan energi nasional, dan memberatkan konsumen dengan membengkaknya tagihan listrik.
Para ahli kepada CNA mengatakan jika pemerintah tidak mengambil tindakan tegas, Indonesia akan terus menjadi tempat pembuangan AC boros listrik ini.

APA ITU AC BUANGAN?
Sebutan AC buangan merujuk kepada pendingin udara berbagai merek yang tidak memenuhi Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) yang ditetapkan di pasar dalam negeri merek itu berasal. Akhirnya AC tersebut diekspor ke negara-negara lain yang memiliki SKEM yang lebih longgar.
Dalam hasil studi yang dirilis September lalu, CLASP meneliti penjualan AC boros listrik di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Mereka menemukan bahwa dari 8,3 juta unit yang dijual di enam negara itu pada 2021, hampir tiga dari empat di antaranya -atau 6,2 juta unit- memiliki efisiensi listrik yang rendah.
Indonesia dan Filipina adalah yang paling banyak menampung AC berteknologi tertinggal ini. Sebanyak 97 persen AC yang dijual di Indonesia dan 78 persen di Filipina dianggap boros listrik. Angka penjualan di Malaysia, Thailand dan Vietnam sekitar 60 persen.
Sementara di Singapura, 21 persen dari total penjualan AC adalah yang bertipe boros listrik.
"Pasar Indonesia memiliki paling banyak AC boros listrik dari keenam negara di kawasan," kata Lina Kelpsaite, manajer tim iklim CLASP yang berbasis di Washington, DC.
CLASP tidak meneliti penyebabnya secara terperinci. Tapi menurut Kelpsaite, bisa jadi penyebabnya adalah banyaknya permintaan akan AC yang lebih murah, namun cenderung lebih boros listrik.
"Indonesia luas, dengan tingkat daya beli yang berbeda (di antara masyarakatnya)," kata Nanik Rahmawati, manajer program Indonesia di CLASP.
SKEM di negara-negara produsen AC cenderung lebih tinggi dibanding Indonesia, sehingga AC-AC tersebut bisa jadi memenuhi syarat untuk dijual di Indonesia, kata Nanik.
Pada 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan regulasi yang mewajibkan produsen AC dalam negeri dan importir untuk membubuhkan label hemat energi pada produk mereka.
Label itu menampilkan rating satu sampai empat bintang. Semakin banyak bintangnya, maka AC semakin hemat energi.

Namun saat mengunjungi toko-toko elektronik di Jakarta, CNA mendapati beberapa AC tidak memiliki label tersebut.
Selisih harganya juga jauh berbeda. AC tanpa label bintang dibanderol sekitar 1,8 hingga 2 juta rupiah, sementara AC dengan dua bintang harganya sekitar 3 juta rupiah. Harga AC dengan empat bintang mencapai di atas 5 juta rupiah.
SIAPA YANG MEMBUANG AC ITU?
Kebanyakan merek yang memasok AC boros listrik ke Asia Tenggara berasal dari perusahaan-perusahaan multinasional yang berpusat di China, Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat. Sebagian besar AC yang dijual di Asia Tenggara itu juga diproduksi di kawasan yang sama.
Hanya kurang dari 30 persen AC boros listrik yang diimpor dari luar Asia Tenggara. Porsi terbesarnya berasal dari China, yang sekitar 93 persennya tidak memenuhi persyaratan efisiensi energi di China sendiri.
Sekitar 59 persen AC yang diekspor dari Korea Selatan ke Asia Tenggara tidak memenuhi persyaratan penjualan di negara asalnya. Sementara 21 persen AC yang diekspor dari Jepang juga di bawah standar persyaratan di negara asal.

MERUGIKAN IKLIM DAN JUGA KANTONG
Dengan suhu udara yang mencapai rekor tertinggi di Indonesia dan kebanyakan wilayah lainnya di dunia, permintaan akan AC terus meningkat.
Bahan bakar fosil yang memicu pemanasan iklim telah menghasilkan sebagian besar pasokan listrik di Indonesia. Artinya, AC yang boros listrik telah menyumbang pada peningkatan emisi karbon.
Laporan CLASP menunjukkan bahwa jika enam negara dalam penelitian mereka menghentikan "pembuangan" AC, maka akan memangkas pengeluaran lebih dari 1 miliar ton metrik karbondioksida dalam 25 tahun dan menghemat uang konsumen hingga US$148 miliar.
Ini juga akan berdampak bagi target iklim Indonesia. Pada 2021, emisi sektor energi di Indonesia mencapai sekitar 600 juta ton karbondioksida, menjadikan negara ini penghasil emisi terbesar kesembilan dunia, berdasarkan data dari Badan Energi Internasional (IEA).
Indonesia menargetkan untuk secara mandiri mengurangi emisi hingga 29 persen pada akhir dekade ini, atau hingga 41 persen dengan dukungan internasional.
Baca:
Bagi masyarakat Indonesia, AC dengan efisiensi energi yang tinggi bisa menghemat listrik hingga sekitar US$846 dalam delapan tahun, melampaui harga tertinggi AC itu sendiri.
Menurut CLASP, nilai penghematan itu mereka dapatkan setelah membandingkan unit AC yang paling banyak dijual di Indonesia dengan tipe lainnya yang hampir memenuhi syarat efisiensi energi di China.
Penghitungan itu didasarkan pada tarif listrik di Indonesia saat ini, yaitu sekitar Rp1.444,70/kWh. Model AC yang dipilih oleh CLASP memiliki kapasitas dan fitur yang sebanding.
Penelitian CLASP menemukan bahwa penghematan energi sangat penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi krisis iklim, ujar Ahmad Ashov Birry, direktur program di Trend Asia, sebuah LSM di Jakarta yang fokus pada energi terbarukan.
"Pemerintah Indonesia tidak boleh abai dan harus meningkatkan pengawasan dan menegakkan regulasi yang sudah ada terkait SKEM dan pelabelan hemat-energi," kata dia.
Ahmad menambahkan, pemerintah seharusnya menghentikan masuknya AC-AC buangan dan juga "standar ganda" yang diterapkan para produsen pendingin udara.

STANDAR TINGGI, MENUMBUHKAN KESADARAN
Konsumen juga harus lebih didorong untuk menggunakan AC dan perangkat lainnya yang hemat energi, lanjut Ahmad.
Bagi kebanyakan rumah tangga di Indonesia, harga yang dibayar di awal menjadi pertimbangan tertinggi.
Farah Ananda dan suaminya David baru-baru ini membeli AC dan mereka mencari unit yang harganya terjangkau.
"Kami butuh AC karena udaranya panas di sini. Jadi jika ada fitur AC yang membuat hemat listrik, kami akan mempertimbangkan membelinya.
"Tapi itu bukan faktor utama. Yang terpenting adalah harganya," kata David.
Istrinya mengatakan: "Kalau AC-nya hemat listrik dan masuk dalam bujet kami, maka itu lebih baik."
Negara bisa menawarkan insentif bagi para konsumen untuk membeli AC yang hemat listrik, begitu juga bagi para produsen, ujar CLASP dalam laporan mereka. Selain itu, negara juga dapat memperkenalkan kebijakan impor prioritas bagi AC hemat energi, sementara negara pengekspor bisa menutup celah ekspor AC boros listrik, lanjut CLASP.
Pemerintah Indonesia menyadari situasi ini dan akan mengambil langkah untuk mencegah negara mereka menjadi tempat pembuangan AC-AC boros listrik.
"Kami akan memperkuat pengawasan produk AC di pasaran dan yang diimpor, berkolaborasi dengan Kementerian Perdagangan, dan Bea Cukai dari Kementerian Keuangan," kata Yudo Priaadi, direktur jenderal energi baru terbarukan dan konservasi energi di Kementerian ESDM.
Indonesia juga akan meninjau SKEM secara berkala dan meningkatkan standarnya agar setara dengan negara-negara produsen AC. Kementerian ESDM juga akan melakukan kampanye untuk mengedukasi masyarakat.
"Kami akan terus bekerja untuk menyelesaikan masalah AC buangan ini," kata dia.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.