Skip to main content
Iklan

Indonesia

Pengamat: Joe Biden absen di KTT ASEAN, komitmen AS di Asia Tenggara patut dipertanyakan

Wakil Presiden AS Kamala Harris akan menghadiri KTT ASEAN dan pertemuan para pemimpin lainnya di Jakarta, sementara Presiden Joe Biden ke India untuk mengikuti KTT G20.

Pengamat: Joe Biden absen di KTT ASEAN, komitmen AS di Asia Tenggara patut dipertanyakan
Foto arsip Presiden AS Joe Biden saat menghadiri KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, pada 13 November 2022. (AP Photo/Alex Brandon)

JAKARTA: Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan absen menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN dan rangkaian pertemuan para pemimpin lainnya di Jakarta. Pengamat mengatakan, ketidakhadiran Biden akan menjadi kerugian besar bagi ASEAN dan Indonesia sebagai ketuanya.

Para pengamat menambahkan, ketidakhadiran Biden akan memunculkan pertanyaan soal komitmen Washington terhadap organisasi beranggotakan 10 negara Asia Tenggara itu. Hal ini juga dapat berujung kepada semakin merapatnya beberapa negara anggota ASEAN ke Beijing, sehingga membuat China kian menancapkan pengaruhnya di kawasan.

"Ini (ketidakhadirannya) bisa berarti bahwa Biden tidak melihat adanya nilai tambah dengan menghadiri KTT ASEAN, seperti misalnya (dia beranggapan), mungkin seluruh kesepakatan dengan ASEAN tidak bisa lagi ditingkatkan melalui pertemuan fisik di Jakarta," kata Dinna Prapto Raharja, direktur eksekutif lembaga think tank Synergy Policies.

Setelah beberapa hari beredar spekulasi bahwa Biden akan melewatkan KTT ASEAN, Gedung Putih akhirnya mengonfirmasinya pada Selasa (22 Agustus) lalu. Mereka mengatakan, presiden AS dijadwalkan menghadiri KTT G20 di India pada 7 hingga 10 September, sementara Wakil Presiden Kamala Harris yang akan ke Jakarta pada 4 hingga 7 September.

KTT ASEAN ke-43 akan diselenggarakan pada 5 hingga 7 September mendatang, dengan diikuti oleh rangkaian pertemuan tingkat tinggi lainnya seperti KTT ASEAN-China, KTT ASEAN-AS dan KTT Asia Timur.

Menurut juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre, dalam KTT ASEAN nanti Harris akan menegaskan kembali komitmen AS terhadap Asia Tenggara dan sentralitas ASEAN, serta "memajukan inisiatif untuk mendorong keamanan dan kemakmuran bersama", termasuk di antaranya upaya untuk menegakkan dan memperkuat peraturan dan norma internasional di kawasan, dan dalam menghadapi tantangan global dan regional lainnya.

Namun Teuku Rezasyah, Lektor Kepala dari Universitas Padjadjaran di Bandung, mengatakan bahwa Harris tidaklah sama dengan Biden.

"Presiden tetaplah presiden, ya kan? Ada banyak presiden dalam sejarah AS, dan yang kita selalu ingat presidennya. Bukan wakil presiden," kata Rezasyah.

MEMBIARKAN CHINA MEMIMPIN

Ketidakhadiran Biden di Jakarta dapat memperumit masalah bagi ASEAN yang mencoba tetap bersatu dan netral di tengah ketegangan yang meningkat antara AS-China beberapa tahun terakhir ini, salah satunya soal permasalahan dagang, kata pakar diplomasi Dinna Prapto Raharja.

"Ini juga bisa berarti AS tidak melihat ASEAN sebagai forum yang memiliki nilai tambah bagi strategi poros AS di kawasan Indo-Pasifik. Jangan lupa bahwa AS sudah punya AUKUS, yang lebih pragmatis dan memiliki tenggat dan target yang jelas," kata dia.

AUKUS adalah aliansi militer antara AS, Inggris dan Australia yang dibentuk pada September 2021 sebagai respons langsung atas upaya China yang mengembangkan kemampuan nuklir mereka. 

Aliansi ini memungkinkan AS dan Inggris membantu Australia untuk memiliki kapal selam tenaga nuklir, sebuah langkah yang tidak disambut baik oleh Indonesia sebagai negara tetangga.

Rezasyah meyakini absennya Biden akan memiliki dampak yang besar terhadap ASEAN, yang menurut dia sedang terpecah setelah beberapa negara anggotanya condong terhadap China.

"Absennya Biden berarti mengakui bahwa China punya pengaruh lebih besar di ASEAN karena sekarang ASEAN punya lebih banyak kesepakatan dengan China dibanding AS. Ketidakhadiran Biden menunjukkan kurangnya upaya untuk memperbaiki situasi itu," kata dia.

"Sekarang, jika Biden tidak datang, berarti AS membiarkan ASEAN berjalan sendirian dan juga membiarkan China memimpin. Karena jika Biden datang, maka dia bisa mencegah China menciptakan inisiatif yang tidak perlu."

MEMPERLUAS KEMITRAAN DENGAN NEGARA LAIN

Biden bukanlah presiden AS pertama yang luput menghadiri KTT ASEAN dan pertemuan pemimpin lainnya dari kawasan dan negara-negara mitra.

Pendahulunya, Donald Trump, tidak menghadiri KTT ASEAN tiga tahun berturut-turut dari 2018 hingga 2020. Pengamat meyakini, hal ini telah merugikan sentralitas dan kepentingan ASEAN.

"Ketika Trump tidak datang (ke KTT ASEAN), setelah itu AS beralih ke AUKUS. AUKUS dibentuk tanpa konsultasi dengan ASEAN atau Indonesia, walau Australia dan AS adalah mitra dialog yang dekat dengan Indonesia," kata Dinna.

"Jadi kita harus mengantisipasi bahwa di masa depan, akan ada kejutan-kejutan lagi dari AS dan bahkan lawan-lawan politik regionalnya yang sudah tidak lagi memandang pentingnya ASEAN sebagai sebuah organisasi regional."

Dinna menambahkan, negara-negara ASEAN harus memberi perhatian khusus bagi AS dan sekutunya jika ingin KTT berikutnya tetap relevan.

Profesor Evi Fitriani, dosen hubungan internasional dari Universitas Indonesia, menyebut ketidakhadiran Biden sebagai "sebuah kerugian dan kekecewaan besar". Karena kehadiran presiden AS, kata dia, akan membuat KTT itu lebih "bergengsi".

Tapi dia menambahkan bahwa Indonesia dan ASEAN tidak usah terlalu membesar-besarkan situasi tersebut, karena ketidakhadiran Biden juga tidak akan membawa banyak perubahan pada hasil akhir KTT.

"Apakah ASEAN secara otomatis akan jatuh ke tangan China? Tidak, karena masih ada kekuatan-kekuatan besar lainnya, seperti Jepang, Uni Eropa, India dan Rusia," kata dia.

Prof Evi juga meyakini, kalau pun Biden datang ke KTT, kehadirannya tidak menjamin akan membuahkan hasil yang menguntungkan ASEAN.

Evi mencontohkan Kerangka Ekonomi untuk Kemakmuran Indo-Pasifik (Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity/IPEF), sebuah inisiatif ekonomi yang diluncurkan tahun lalu oleh AS beserta 14 negara Indo-Pasifik, yang menurut dia hanya menguntungkan Washington dalam upaya membendung pengaruh Beijing.

"Inisiatif itu tidak secara signifikan berdampak pada pembangunan di negara-negara ASEAN ... tidak memberikan akses pasar untuk negara ASEAN, tidak ada dukungan tambahan untuk pembangunan," kata dia, seraya menambahkan bahwa inisiatif itu hanya melibatkan tujuh negara ASEAN tanpa Kamboja, Laos dan Myanmar yang dianggap sebagai negara sahabat-China.

Menanggapi ketidakhadiran Biden pada KTT, Prof Evi menyarankan ASEAN seharusnya memperluas kemitraannya dengan negara-negara lain agar tidak terjebak dengan China saja.

"Untuk itu, sangat penting bagi ASEAN untuk memperluas kemitraan dengan negara-negara lain seperti Uni Eropa, Rusia, Jepang dan India," kata dia.

Foto arsip Presiden AS Joe Biden dan Presiden Indonesia Joko Widodo, saat KTT G20 di Bali pada 14 November 2022. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Laily Rachev)

DAMPAKNYA PADA KREDIBILITAS INDONESIA

Pengamat menganggap ketidakhadiran Biden memang bisa memengaruhi ASEAN, tapi yang paling kecewa adalah Indonesia.

Menurut Dinna, keputusan Biden untuk tidak menghadiri KTT akan berdampak buruk pada keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini.

Keputusan itu juga, lanjut Dinna, menunjukkan bahwa AS memandang ASEAN tidak terlalu penting, dan sialnya ini terjadi di saat ketuanya adalah Indonesia - negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN yang digadang sebagai kakak tertua organisasi ini.

Rezasyah berpandangan sama. "Seharusnya KTT ini akan menjadi peristiwa yang sangat penting dalam diplomasi Indonesia di bawah Jokowi," kata dia.

Tahun depan, ketua ASEAN berikutnya adalah Laos, negara yang dipandang sebagai sekutu terdekat China.

Presiden Joko Widodo akan menyerahkan keketuaan ASEAN kepada Laos pada penghujung KTT tanggal 7 September mendatang.

Keketuaan ASEAN tahun ini adalah ajang terakhir Indonesia dalam kancah internasional di bawah kepemimpinan Jokowi. Indonesia mengetuai G20 tahun lalu, ketika Biden untuk pertama kalinya sejak menjabat presiden bertemu dengan Presiden China Xi Jinping.

Indonesia tahun depan akan mengadakan pemilu dan setelahnya pada Oktober presiden baru akan diambil sumpahnya. Konstitusi Indonesia hanya memperbolehkan presiden memimpin selama maksimal dua periode, dan Jokowi habis masa jabatannya tahun depan.

"Ini (ketidakhadiran Biden) akan memengaruhi kredibilitas Jokowi, karena mendapatkan perhatian AS sama juga dengan mendapat perhatian dunia," kata Rezasyah.

Rezasyah juga meyakini ketidakhadiran Biden mungkin terjadi akibat adanya keraguan dalam hubungan Indonesia-AS, mengingat Jakarta telah tiga kali mengganti duta besar untuk Washington dalam kurun waktu empat tahun.

Pergantian dubes yang terlalu cepat itu, kata Rezasyah, menunjukkan bahwa Indonesia kurang persiapan dan tidak mampu memilih wakil yang tepat. Hal ini juga menyiratkan kurangnya perhatian Indonesia pada reputasi AS di ranah global.

"Artinya duta besar Indonesia belum cukup mempelajari AS, belum memanfaatkan potensi mereka, dan belum berhasil menjalin hubungan dengan para pejabat-pejabat AS di sistem perpolitikan Amerika seperti para anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif," ujar Rezasyah.

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. 

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini yang mengulas dilema Indonesia dalam menyikapi China terkait sengketa batas di Natuna.  

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan