Larangan mendaki gunung di Bali belum final, masih dalam pembahasan

JAKARTA: Larangan mendaki gunung di Bali menyusul berbagai laporan perilaku buruk turis di tempat-tempat yang dianggap suci masih dalam tahap pembahasan, kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno.
Pernyataan ini disampaikan Sandiaga dalam konferensi pers pada Senin (12 Juni), setelah sebelumnya pada akhir Mei lalu Gubernur Bali I Wayan Koster mengumumkan larangan pendakian gunung di Pulau Dewata.
Larangan pendakian melalui surat edaran gubernur yang diumumkan Koster berlaku untuk masyarakat setempat, turis domestik maupun asing. Koster mengatakan, larangan tidak berlaku bagi mereka yang mendaki gunung untuk tujuan ibadah dan ritual keagamaan.
Koster ingin agar larangan itu disahkan menjadi peraturan daerah (perda), yang terlebih dulu harus mendapat persetujuan dari DPRD.
Sandiaga pada Senin lalu mengatakan pemerintah Bali masih belum merampungkan peraturan mengenai larangan pendakian. Pernyataan ini disampaikan Sandiaga setelah muncul kekhawatiran bahwa warga setempat dan pemilik usaha yang bergantung pada aktivitas pendakian gunung di Bali akan kehilangan sumber pemasukan jika larangan itu diterapkan.
"(Larangan pendakian gunung) akan terus dilakukan pembahasan dengan kepala UPD (unit perangkat daerah) di Pemda Bali."
"Setelah final, nanti akan dipaparkan oleh gubernur Bali," kata Sandiaga.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Pariwisata Bali Tjokorda Bagus Pemayun mengatakan larangan pendakian gunung diajukan karena pulau berpopulasi mayoritas Hindu itu memiliki kawasan-kawasan suci dan ingin menjaganya tetap lestari.
"Dasar kami mengapa ada larangan mendaki gunung, karena fatwa dari para pandita bahwa ada 18 gunung yang merupakan kawasan suci. Mendaki gunung adalah pariwisata budaya, makanya tagline kita adalah pariwisata berbasis budaya yang berkualitas dan bermartabat," kata Pemayun.
Dia menambahkan, ada lebih dari 180 pemandu wisata gunung yang akan ditransformasi menjadi tenaga kontrak jika larangan pendakian menjadi peraturan daerah.
"Kami sudah memetakan, ada 186 pemandu wisata gunung yang akan kami transformasi menjadi tenaga kontrak. Sehingga kami tidak mematikan usaha masyarakat, tetapi mencarikan solusi," kata Pemayun.
Surat edaran gubernur Koster mengenai larangan pendakian gunung juga memuat hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan turis di Bali. Panduan perilaku ini dikeluarkan setelah muncul kemarahan warga Bali akibat beberapa insiden turis asing yang dianggap tidak menghormati budaya dan peraturan setempat.
Surat edaran tersebut memuat 16 peraturan, di antaranya mengingatkan agar wisatawan menghargai kebudayaan Bali dengan berpakaian yang santun, menghormati pura dan simbol-simbol keagamaan lainnya, serta mematuhi peraturan daerah.
WARGA BADUY MINTA SINYAL INTERNET DIMATIKAN
Dalam konferensi pers Senin lalu, Sandiaga Uno juga menyampaikan perihal permintaan dari masyarakat adat Baduy di provinsi Banten untuk mematikan sinyal internet di wilayah mereka demi mencegah "dampak negatif".
"Ada permintaan itu dari para tokoh adat ... kami menindaklanjuti dan mengoordinasikan permintaan tersebut," kata Sandiaga.
Suku adat Baduy hidup secara tertutup dan telah melestarikan tradisi mereka yang sederhana selama ratusan tahun.
Sekitar 26.000 orang Baduy di Banten terbagi menjadi "Baduy luar", yaitu suku adat Baduy yang telah merangkul teknologi, dan "Baduy dalam" yang mengasingkan diri dari kehidupan modern.
Masyarakat Baduy tersebar di tiga desa di wilayah seluas 4.000 hektare, yang bisa ditempuh dengan beberapa jam berkendara dari Jakarta.
Pemerintah telah mengembangkan desa wisata Baduy untuk dikunjungi wisatawan.
Ketika ditanya bagaimana turis bisa mengunjunginya jika tidak ada internet, Sandiaga mengatakan bahwa desa wisata yang dikembangkan pemerintah adalah milik Baduy luar, dengan cara hidup yang lebih terbuka dengan kehidupan modern.
Desa wisata ini tidak akan terkena dampak pemutusan internet, kata dia.
Sandiaga mengatakan, yang meminta pemutusan sinyal internet di desa mereka adalah suku Baduy Dalam.
"Perlu dibedakan, karena yang kita kembangkan itu adalah desa adat yang ada di luar Baduy inti. Desa Wisata Saba Baduy yang sedang kami kembangkan saat ini."
"Di sana juga masih kesulitan jaringan, dan tidak ada permintaan khusus (mematikan internet) di desa wisata tersebut," kata Sandiaga.
Sebelumnya pada awal bulan ini, masyarakat Baduy Dalam meminta pemerintah mematikan sinyal internet atau mengalihkan sinyal dari menara telekomunikasi ke luar wilayah desa mereka.
“Usulan ini dibuat bertujuan sebagai upaya dan usaha kami untuk memperkecil pengaruh negatif dari penggunaan HP terhadap warga,” ujar perwakilan masyarakat Baduy melalui surat.
Mereka mengatakan menara telekomunikasi yang dibangun dekat desa Baduy dapat mengancam tradisi mereka dan moral anak-anak muda.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini yang mengulas ekstremisme dan isu identitas yang terjadi di Indonesia.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.