"Kanan-kiri dibom": Tantangan mengadang para warga Asia Tenggara untuk keluar dari zona perang Israel-Hamas
Menurut ahli keamanan dari Institut Timur Tengah di National University of Singapore, negara-negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel akan kesulitan memulangkan warga mereka.

- Ada sekitar 30.000 pekerja Thailand di Israel, 5.000 di antaranya berada di zona konflik
- Warga negara Filipina juga banyak yang bekerja di Israel. Dilaporkan, satu warga Filipina disandera
- Indonesia telah menyiapkan rencana kontingensi untuk mengevakuasi warganya
SINGAPURA: Di tengah gempuran serangan udara Israel ke Gaza, nyawa pekerja lembaga bantuan asal Indonesia, Abdillah Onim, terancam. Ledakan demi ledakan terjadi di sekitar rumahnya.
"Rumah-rumah warga Gaza dibom dan diratakan dengan tanah. Apa yang Anda lihat di media itu benar-benar terjadi," kata pria 44 tahun ini kepada CNA. Saat dia berbicara, suara dentuman bom dan jet tempur riuh terdengar di sekelilingnya.
Onim - yang menikahi wanita Gaza dan kini memiliki tiga anak - telah tinggal di kota itu sejak 2009. Konflik kali ini membuat dia mempertimbangkan untuk pulang ke Indonesia, walau perjalanan ke kampung halaman akan menjadi sesuatu yang menantang.
Berbicara dalam webinar yang diadakan oleh Universitas Islam Indonesia pada Selasa (10 Okt), Onim akan mengevakuasi keluarganya melalui Mesir "dalam waktu dekat".
Walau dia mengaku, rencananya itu baru sebatas "angan-angan".
"Karena walau sudah dikoordinasikan dengan baik, jika tidak bisa keluar rumah, maka tidak bisa (pergi) ... Kalau tidak ada transportasi ke perbatasan, tidak bisa. Mobil ambulans saja dijadikan target, kendaraan biasa dirudal.
"Tinggal menunggu bagaimana caranya agar pihak Palang Merah Internasional bisa menjemput kami di depan kediaman, lalu kami akan dibawa dalam situasi kanan-kiri dibom," kata Onim.
"Perjalanan ke perbatasan akan seperti film action, tidak bisa dibayangkan, di dalam mobil yang berjalan dengan bom di kanan-kirinya."
Onim adalah satu dari banyak warga asing di wilayah Palestina dan Israel yang ingin keluar dari zona perang kembali ke kampung halaman. Namun, gempuran Israel ke Gaza pada Senin lalu menyulitkan upaya evakuasi mereka.
Menyusul serangan mendadak kelompok militan Hamas pada Sabtu lalu, pemerintah negara-negara Asia Tenggara telah mengeluarkan imbauan bagi warganya yang ada di wilayah Israel dan Palestina.
Salah satunya Singapura. Kementerian Luar Negeri Singapura pada Selasa mengimbau warganya untuk meninggalkan wilayah Israel dan Palestina "sesegera mungkin menggunakan opsi komersial yang tersedia".
Thailand dan Filipina, yang warganya banyak bekerja di Israel, juga mengatakan tengah berupaya merepatriasi warga mereka yang ingin pulang. Sementara organisasi bantuan Mercy Malaysia mengatakan kepada CNA mereka tidak akan memasuki Gaza karena situasi yang berbahaya di sana.
Pemerintah Malaysia sendiri belum mengumumkan jumlah warganya di Israel atau Palestina.
Seorang ahli keamanan yang berbicara kepada CNA mengatakan bahwa koordinasi dalam upaya repatriasi warga asing akan sulit, terutama bagi negara-negara yang tidak memiliki hubungan resmi dengan pemerintah Israel.
Baca:
THAILAND
Ada lebih dari 3.000 warga Thailand di Israel yang menyatakan ingin pulang, kata Wakil Menteri Luar Negeri Thailand Jakkapong Sangmanee pada Selasa.
Di Israel sendiri ada sekitar 30.000 pekerja Thailand, sekitar 5.000 di antaranya berada di wilayah konflik.
Menurut Bangkok Post, Jakkapong mengatakan bahwa gelombang evakuasi pertama diperkirakan tiba di Thailand pada Kamis.
Dia menambahkan, proses repatriasi akan menggunakan pesawat sewaan atau komersial, karena pesawat militer dilarang mendarat di Israel karena pertempuran semakin mendekati bandara.
Sementara itu, 18 warga Thailand telah dikonfirmasi tewas. Jakkapong mengatakan, sebelum tentara Israel mampu mengambil alih wilayah konflik, jenazah korban tewas tidak akan bisa diambil untuk dipulangkan ke Thailand.
Berdasarkan laporan AFP, Hamas telah menawan sekitar 150 orang, termasuk 11 warga Thailand. Kelompok militan itu juga mengancam akan mengeksekusi sandera sipil satu per satu jika Israel terus melakukan serangan udara ke Gaza.
Istri dari Owat Suriyasri, warga Thailand yang disandera Hamas, mengatakan jantungnya "serasa berhenti" ketika mendengar suaminya ditawan.
"Saya menantikan kabar gembira," kata Kanyarat Suriyasri. Wanita 40 tahun ini mengatakan suaminya yang "sangat ramah, penyayang dan ceria" itu pindah ke Israel pada 2021 untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
Jika bisa bertemu suaminya, kata dia kepada AFP, dia ingin mengatakan: "Aku rindu kamu, saya tidak akan membiarkan kamu pergi jauh lagi."
"Saya akan peluk dia," kata dia.
Wannida Ma-asa - istri dari warga Thailand lainnya yang disandera Hamas - mengaku sedih sekali, tapi masih memegang harapan suaminya dapat pulang dengan selamat.
Suaminya, Anucha Angkaew, adalah pekerja di pertanian alpukat yang pindah ke Israel pada Maret 2022 dari rumahnya di Udon Thani, kawasan pertanian di timurlaut Thailand.
"Saya sangat terpukul. Saya berbicara dengan dia di hari ketika dia diculik. Saya video call dengan dia sebelum itu terjadi dan bercakap-cakap seperti biasa," kata dia kepada AFP.
"Saya sangat berharap dia selamat ... harapan saya 100 persen. Dengan sabar saya akan memantau berita, menantikan kabar baik."
INDONESIA
Saat ini terdapat 45 warga Indonesia di wilayah Palestina.
Menurut Direktur Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri Indonesia Judha Nugraha, ada 10 warga Indonesia di Gaza dan 35 di Tepi Barat.
Saat ini ada juga 230 warga Indonesia di Israel yang tengah melakukan wisata religi, kata dia.
Pada Selasa seperti dikutip dari media lokal, juru bicara Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah mempersiapkan langkah kontingensi "dengan beberapa skenario" untuk mengevakuasi WNI.
Tidak dijelaskan seperti apa rencana evakuasinya, tapi dia mengatakan bahwa pemerintah melalui Kedutaan Besar RI di Amman, Beirut dan Kairo telah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk mengeluarkan WNI yang masih ada di Palestina, terutama di Gaza.
Onim, pekerja lembaga bantuan asal Indonesia, mengatakan bahkan perjalanan untuk belanja kebutuhan sehari-hari saja berbahaya di Gaza.
"Jalanan kosong. Saya sudah tiga hari tidak bisa keluar untuk berbelanja bahan makanan untuk anak dan istri. Karena di luar situasinya tidak bisa diprediksi, misalnya jalan 10 meter, 500 meter, ada pengeboman," kata dia.

FILIPINA
Dalam pernyataannya pada Senin lalu, Kantor Komunikasi Presiden Filipina mengatakan warga mereka yang tinggal di Israel belum meminta repatriasi.
"Namun, Kedutaan sudah memiliki rencana repatriasi dan siap dilakukan jika diperlukan. Kedutaan memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukannya," ujar pernyataan tersebut.
Mereka juga menambahkan, jika repatriasi warga Filipina di Gaza perlu dilakukan, maka mereka siap membantu Kedutaan Filipina di Amman, Yordania, yang tugas pengawasannya juga meliputi Gaza.
"Kedutaan akan berkoordinasi dengan pemerintah Israel untuk memastikan kelancaran transit di Israel bagi warga Filipina dari Gaza ke Yordania," imbuh mereka lagi.
Menurut media Filipina, Daily Inquirer, sedikitnya ada 38 warga Filipina di Jalur Gaza yang menyatakan ingin direpatriasi.
Juru bicara Kemlu Filipina, Ma. Teresita Daza, mengatakan ada lebih dari 30.000 warga Filipina di Israel per Desember 2021, berdasarkan pencatatan Badan Imigrasi dan Populasi Israel.
Manila Times memberitakan, Daza juga mengatakan bahwa saat ini ada 137 warga Filipina di Gaza.
Komisioner Biro Imigrasi Filipna, Norman Tangsingco, mengatakan pada Senin bahwa mereka telah berkoordinasi dengan Kemlu dan Departemen Pekerja Migran Filipina untuk menjadwalkan kemungkinan repatriasi.
Tansingco juga telah memerintahkan dibentuknya tim khusus untuk mempercepat persiapan dokumen warga Filipina dan keluarganya yang akan direpatriasi.
Sementara itu, ada satu warga Filipina yang diduga disandera, sementara tujuh dari 29 warga Filipina yang dilaporkan hilang masih belum diketahui nasibnya.
"Seorang wanita di Filipina menghubungi kedutaan dan mengatakan bahwa dia mengenali suaminya dalam video yang tersebar di media sosial, yang menunjukkan seorang pria disandera kelompok bersenjata, diduga dia dibawa ke Gaza," kata Kantor Komunikasi Presiden Filipina.
Mereka menambahkan, kedutaan Filipina di Israel juga "bekerja sama dengan komunitas warga dalam kasus ini".
NEGARA-NEGARA TANPA HUBUNGAN DENGAN ISRAEL AKAN KESULITAN EVAKUASI
Dr Jean-Loup Samaan, peneliti senior pada Institut Timur Tengah di National University of Singapore (NUS) kepada CNA mengatakan bahwa negara-negara tanpa hubungan diplomatik dengan Israel "akan kesulitan melakukan koordinasi dalam mengupayakan itu (evakuasi)".
"Namun karena faktanya upaya evakuasi pasti akhirnya adalah kerja sama antarnegara, saya berasumsi ini akan difasilitasi oleh Amerika Serikat atau Eropa," kata dia.
Dia menambahkan, lokasi akan memberikan "perbedaan besar" dalam keberhasilan upaya evakuasi warga sipil, misalnya apakah dari Israel, Gaza, atau Tepi Barat.
Dia juga mengatakan bahwa penerbangan masih beroperasi di Israel, sementara tidak ada bandara di Gaza dan Tepi Barat.
"Untuk Tepi Barat, evakuasi kemungkinan direncanakan lewat Yordania. Sementara untuk Gaza yang saat ini di bawah gempuran dan dengan operasi militer darat yang akan segera dilakukan Israel, akan lebih sulit diprediksi. Orang-orang mungkin akan keluar via Mesir," kata Dr Samaan.
"Di luar itu, evakuasi biasanya dikoordinasikan oleh kapal-kapal militer dari Laut Mediterania. AS dan Eropa sebelumnya telah melakukan operasi evakuasi besar-besaran (misalnya saat perang Israel dan Hizbullah pada 2006).
"Tapi yang jelas, evakuasi ini akan melibatkan proses multilateral," kata dia kepada CNA.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.