Skip to main content
Iklan

Keamanan

'Hukumannya lebih ringan dari maling ayam': Setahun Tragedi Kanjuruhan, duka dan amarah masih santer terasa

'Hukumannya lebih ringan dari maling ayam': Setahun Tragedi Kanjuruhan, duka dan amarah masih santer terasa
Dua pelajar melihat spanduk raksasa yang memuat foto-foto korban tewas dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada tahun lalu. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)
  • 135 orang tewas dan sedikitnya 500 terluka dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022 yang dipicu oleh tembakan gas air mata aparat.
  • Tiga polisi dan dua panitia pertandingan dinyatakan bersalah dalam insiden tersebut. Masing-masing divonis penjara antara satu hingga dua setengah tahun.

MALANG, Indonesia: Ada satu saat di masa yang tidak terlalu lampau ketika beberapa jam setiap akhir pekan, kota Malang terlihat seperti kosong melompong.

Hampir semua orang di kota perbukitan itu sedang berada di Stadion Kanjuruhan yang terletak di pinggiran kota, terpaku di depan layar TV di rumah atau di kafe dan warung-warung pinggir jalan, mendukung klub sepak bola yang dahulu kala menjadi kesayangan mereka, Arema FC.

Suasana kota berpenduduk 800.000 orang itu akan berubah tergantung hasil akhir pertandingan.

Jika klub mereka menang, rombongan suporter yang mengenakan jersey dan berbagai atribut Arema lainnya akan pawai keliling kota dengan motor atau mobil, merayakan kemenangan. Sebaliknya, suasana kota akan menjadi murung dan muram jika Arema kalah.

Tapi semua itu berubah pada 1 Oktober 2022, ketika 135 orang tewas dalam insiden di Stadion Kanjuruhan, tragedi paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola dunia.

"(Sejak tragedi itu) saya belum pernah lagi menonton satu pun pertandingan (Arema)," kata Devi Athok Yulfitri, seorang pemilik perkebunan, kepada CNA. Devi tidak sendiri, dia mengatakan banyak juga kawannya yang berhenti menonton pertandingan Arema secara langsung atau lewat layar kaca.

"Terlalu menyakitkan. Setiap kali melihat Arema main, yang kami bayangkan ya orang-orang tercinta dan teman-teman yang meninggal di malam itu."

TAKDIR YANG IRONIS

Devi dulu adalah seorang Aremania, julukan untuk fans berat Arema. Sebelum tragedi tersebut, dia hampir tidak pernah absen menyaksikan pertandingan Arema, baik kandang maupun tandang. 

Saking cintanya kepada klub tersebut, Devi seringkali terlibat tawuran dengan suporter lawan, tanpa peduli apakah dia akan terluka, ditangkap atau terbunuh.

"Satu-satunya alasan saya berhenti (ikut tawuran) adalah dua putri saya," kata pria 44 tahun ini. "Setiap kali mereka lihat saya mau ikut berkelahi, mereka bilang 'Jangan Yah, ayo pulang saja'."

Devi Athok Yulfitri kehilangan dua putri remajanya dalam insiden di Stadion Kanjuruhan, Malang. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Dalam sebuah ketetapan takdir yang ironis, kedua putrinya: Natasya Debi Ramadani usia 16 tahun dan Nayla Debi Anggraini usia 13 tahun, bersama mantan istri Devi, Gebiasta, justru menjadi korban tewas di malam yang nahas itu. Saat itu, Devi tidak bisa ikut menonton karena harus bekerja.

Berdasarkan penyelidikan tim pencari fakta yang dibentuk pemerintah, pemicu utama insiden saling injak dalam tragedi itu adalah gas air mata aparat yang ditembakkan ke arah penonton setelah beberapa suporter menyerbu lapangan.

Penggunaan senjata api atau gas pengendali massa dilarang oleh badan sepak bola dunia, FIFA, terutama di stadion tertutup dengan sedikit sekali akses keluar bagi para korban untuk lolos dari efek gas air mata yang membuat sesak napas dan menimbulkan rasa terbakar.

Kondisi ini diperburuk oleh panitia yang gagal memastikan seluruh gerbang keluar stadion tidak terkunci saat kericuhan berlangsung.

Hasilnya, ratusan orang terjebak dan tubuh-tubuh mereka saling berhimpitan saat berhamburan menyelamatkan diri, terutama di Gerbang 13 yang kini tersohor karena disebut sebagai tempat ditemukannya sebagian besar korban tewas dan luka berat – walau tidak ada data resmi soal ini.

Poster dan grafiti menghiasi Stadion Kanjuruhan di Malang yang telah terbengkalai sejak tragedi maut tahun 2022 yang menewaskan 135 orang. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Satu tahun berselang, hanya lima orang – tiga polisi dan dua panitia penyelenggara pertandingan – yang diadili. Para terdakwa dijatuhi hukuman antara satu hingga dua setengah tahun penjara karena keterlibatan mereka dalam tragedi itu.

Para keluarga korban tidak puas dengan vonis tersebut. Hukuman itu dianggap terlalu ringan dan mereka menuntut lebih banyak orang lagi yang diadili.

"Saya tidak akan diam sampai semua yang bertanggung jawab dihukum dengan seadil-adilnya," kata Devi.

MALAM YANG MENCEKAM

Di malam yang nahas itu, Arema bertanding melawan rival bebuyutan mereka Persebaya, klub dari Surabaya, kota tetangga yang terpaut jarak dua jam berkendara di sebelah utara Malang.

Persaingan kedua klub itu telah berlangsung puluhan tahun dan suporter keduanya langganan bentrok, sampai-sampai suporter Persebaya dilarang menghadiri pertandingan di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Selama 23 tahun, Arema tidak pernah kalah melawan Persebaya di kandang sendiri. Itulah mengapa, para Aremania meradang ketika klub mereka keok 2-3.

Saat peluit akhir dibunyikan pada pukul 21.30, beberapa suporter memanjat pagar setinggi empat meter yang memisahkan penonton dan pemain, lalu berlarian ke tengah lapangan.

"Sudah tradisi bagi Aremania untuk menyambangi pemain setelah pertandingan. Kalau Arema bermain baik, Aremania akan menghampiri dan memuji mereka. Kalau pemain bermain buruk, kami hanya ingin menyampaikan beberapa kata kepada mereka," kata Dian Berninandri, 53, yang ikut menonton pertandingan pada 1 Oktober 2022 itu, kepada CNA.

Dian Berninandri mengaku terkejut melihat polisi menembakkan gas air mata ke arah penonton saat pertandingan 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Dian mengaku telah menghadiri banyak sekali pertandingan Arema selama lebih dari 30 tahun. Selama itu pula, dia mengatakan, para Aremania yang menyerbu lapangan akan langsung mundur ketika polisi mengambil tindakan yang lebih halus, seperti melepaskan anjing-anjing penjaga.

Itulah mengapa keputusan polisi untuk menembakkan gas air mata ke arah 42.000 penonton di Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu membuat Dian terkejut.

"Awalnya, mereka menembaki para penyerbu lapangan, tapi kemudian mereka menembaki tribun, termasuk tribun tempat duduk wanita dan anak-anak," kata Dian yang ketika itu langsung lari keluar stadion dan berhasil lolos tanpa terluka.

Kepolisian Republik Indonesia sebelumnya berdalih, gas air mata diperintahkan untuk ditembakkan karena jumlah penonton yang menyerbu lapangan bertambah dari segelintir menjadi ratusan orang dalam hitungan menit.

Polisi juga bersikeras tidak pernah menembakkan gas air mata ke arah tribun, mengklaim bahwa perubahan arah angin yang tiba-tiba telah membawa gas yang menyesakkan itu dari lapangan ke bagian lain di stadion.

Seorang pria berpakaian seperti hantu berpose di depan monumen singa, simbol Arema FC, di Stadion Kanjuruhan, Malang, untuk memprotes penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat yang menewaskan 135 orang pada 1 Oktober 2022. (Foto: CNA/Wisnu Agung Preasetyo)

Akmal Marhali, anggota tim pencari fakta pemerintah, mengatakan penggunaan gas air mata oleh polisi tidak beralasan.

"Karena (tragedi ini) tidak melibatkan suporter Persebaya sebagai tim tamu, karena sejak awal suporter Persebaya dilarang untuk hadir," kata dia kepada CNA.

"Apa yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia? Dalam rekomendasi gabungan tim pencari fakta, sudah jelas penyebabnya adalah gas air mata."

Menurut Akmal, gas air mata bisa berbahaya bahkan jika ditembakkan di tempat terbuka seperti Kanjuruhan, di mana hanya tribun VIP saja yang memiliki atap. Tembakan gas air mata, kata dia, bisa membuat penonton panik dan berlarian menuruni tangga yang curam dan lorong yang sempit, semakin meningkatkan peluang jatuhnya korban luka atau meninggal dunia.

Bagas Satria, 20, mengatakan bahwa itulah yang terjadi di stadion Kanjuruhan pada malam itu.

"Semua orang panik. Semua orang lari ke pintu keluar. Tapi pintunya dikunci. Orang yang di bawah gak bisa kemana-mana, sementara, orang yang turun (menuju pintu) semakin banyak," kata dia kepada CNA.

Sepatu-sepatu yang berserakan di dekat salah satu pintu keluar di Stadion Kanjuruhan, Malang, menjadi pengingat akan apa yang terjadi dalam tragedi tahun 2022 yang menewaskan 135 orang. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

"Orang-orang semua teriak minta tolong. Banyak yang terjatuh dan terinjak-injak," kata dia.

Bagas mengatakan ketika itu dia tidak bisa bergerak, kedua kakinya terjepit ke pagar tangga, sementara belakang kepalanya terhimpit langit-langit tangga.

Kekurangan oksigen membuat Bagas pingsan dan dia baru siuman ketika berada di rumah sakit. Kedua kakinya patah dalam peristiwa tersebut.

Setahun setelah tragedi itu, tulang kakinya yang patah tidak bisa pulih sepenuhnya. Saat ini Bagas kebanyakan berada di tempat tidur, hanya mampu berjalan beberapa langkah lantaran sakit yang tak tertahankan.

Bagas Satria menunjukkan hasil rontgen kedua kakinya yang patah saat kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Namun, Bagas yang dulu bekerja di restoran tapi menganggur sejak mengalami cedera, merasa masih beruntung karena banyak orang yang kehilangan nyawanya di malam itu.

Dari 135 orang yang tewas, 43 di antaranya berusia kurang dari 17 tahun dan 42 orang perempuan.

KEADILAN YANG BELUM TERPENUHI

Beberapa hari setelah insiden, Polri melakukan penyelidikan internal terhadap 28 polisi yang mengamankan pertandingan dan menonaktifkan sembilan di antaranya karena pelanggaran kode etik.

Namun, polisi memutuskan hanya mempidanakan tiga aparat: AKP Hasdarmawan, Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur, AKP Bambang Sidik Achmadi, Kasat Samapta Polres Malang, dan Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kabag Ops Polres Malang.

Yang juga menghadapi tuntutan pidana adalah Abdul Haris, ketua panitia pelaksana pertandingan, dan Suko Sutrisno, petugas keselamatan dan keamanan pertandingan.

Pada Maret lalu, Suko divonis penjara satu tahun oleh Pengadilan Negeri Surabaya, sementara Haris dan Hasdarmawan dijatuhi vonis masing-masing 18 bulan.

Bambang dan Wahyu awalnya dibebaskan dari semua dakwaan oleh pengadilan tingkat pertama, namun setelah jaksa penuntut umum mengajukan banding akhirnya Mahkamah Agung pada Agustus lalu membatalkan pembebasan dan menjatuhi keduanya masing-masing vonis penjara dua dan dua setengah tahun.

Pada 27 September, Mahkamah Agung juga menambah hukuman untuk Abdul sebagai ketua panitia pelaksana pertandingan dari 18 bulan menjadi dua tahun. Sementara hukuman penjara untuk Suko dan Hasdarmawan tidak berubah setelah banding diajukan oleh jaksa penuntut.

Meski turut didakwa, direktur Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita masih bebas dan aktif di liga karena kasusnya tidak pernah maju ke pengadilan hingga satu tahun sejak tragedi terjadi.

Cholifatul Nur, yang kehilangan putranya yang berusia 15 tahun, Jovan Farelino, dalam Tragedi Kanjuruhan, mengaku masih tidak puas kendati Mahkamah Agung menjatuhi hukuman lebih berat kepada kelima terdakwa.

"(Hukuman penjaranya ringan) kalah sama maling ayam," kata dia kepada CNA.

Cholifatul Nur kehilangan putra semata wayangnya, Jovan Farelino, dalam tragedi maut di Stadion Kanjuruhan Malang pada 1 Oktober 2022. Sebanyak 135 orang tewas dalam insiden tersebut. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Daniel Siagian, pengacara dari beberapa keluarga korban, menyoroti bahwa proses pengadilan telah dinodai oleh keputusan-keputusan yang kontroversial.

Jaksa penuntut, kata dia, hanya membawa satu atau dua korban untuk bersaksi terhadap lima terdakwa, sementara mayoritas saksi lainnya datang dari kepolisian.

Lalu ada keputusan untuk menggelar pengadilan di Surabaya – bukannya di lokasi tragedi – dengan alasan keamanan. Keputusan ini menyulitkan keluarga korban untuk menghadiri pengadilan tersebut.

Daniel juga mempertanyakan mengapa penyelidikan berhenti di lima terdakwa saja, padahal menurut dia ada lebih banyak lagi orang yang harus bertanggung jawab atas tragedi tersebut.

"Satu tahun Tragedi Kanjuruhan, aspek penegakan hukum yang berkeadilan sama sekali belum terpenuhi. Pihak yang bertanggung jawab bukan hanya kepolisian. Tapi bahwa kepolisian yang secara fakta melakukan penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan TNI, tetapi wajib bertanggung jawab juga penyelenggara, klub, bahkan jika ada suporter yang melakukan perbuatan melanggar hukum," kata dia kepada CNA.

Orang-orang berjalan melewati mural di Malang yang menggambarkan Tragedi Kanjuruhan 2022 lalu yang menewaskan 135 orang. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Para pecinta sepak bola di Malang-lah yang harus membayar mahal.

Beberapa hari setelah insiden Kanjuruhan, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) melarang Arema menggelar pertandingan kandang untuk sisa musim 2022-2023. Klub itu juga harus menggelar pertandingan di stadion yang terletak 250km jauhnya dari Malang.

PEMERINTAH AKAN MENINGKATKAN ASPEK KEAMANAN STADION

Selama hampir satu tahun, Stadion Kanjuruhan dibiarkan terbengkalai, dikunjungi bukan oleh masyarakat yang ingin menyaksikan pertandingan melainkan para pelayat yang menganggap tempat itu sebagai rumah duka.

Ketika CNA menyambangi stadion tersebut pada 14 September lalu, rumput-rumput yang panjang tidak terurus telah memenuhi seluruh lapangan, sementara atap-atap kanopi yang menaungi sayap barat stadion sudah mulai rontok.

Tribun penonton berkelir merah dan biru masih belum berubah sejak tragedi terjadi. 

Pagar pembatas yang ambruk dan besi sandaran yang bengkok jadi saksi bisu seperti apa rasanya ketika di malam itu 42.000 penonton – 4.000 lebih banyak dari batas kapasitas – berlarian menyelamatkan diri dari gas air mata yang mencekik. 

Pengingat lain dari tragedi itu adalah sepatu, jam tangan, kacamata, dan barang-barang pribadi lain yang tak terhitung jumlahnya, berserakan di lantai stadion, terutama di Gerbang 13 tempat sebagian besar korban meregang nyawa.

Bagian luar stadion kini dipenuhi grafiti dan poster yang mengecam tragedi tersebut. Spanduk berukuran 4x3 meter yang menampilkan foto-foto korban tergantung dekat Gerbang 13.

Larangan PSSI bagi Arema untuk menggelar pertandingan kandang bukan satu-satunya alasan mengapa Stadion Kanjuruhan terbengkalai.

Pemerintah Indonesia memutuskan merenovasi stadion berusia 26 tahun itu dan telah menganggarkan Rp390 miliar untuk peremajaan stadion dan meningkatkan keamanannya.

Rencana renovasi tidak disetujui oleh banyak Aremania yang menganggapnya sebagai cara merusak tempat kejadian perkara dan menghilangkan kenangan akan mereka yang tewas.

"(Pemerintah) seharusnya membiarkan (Stadion) Kanjuruhan. Kenapa mereka tidak membangun saja stadion baru di tempat lain dan jadikan Kanjuruhan sebagai tempat berkabung, monumen untuk tragedi yang luar biasa ini?" kata salah satu Aremania, Aang Kurniawan, 43, kepada CNA.

Firmando Matondang, Plt. Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Malang, mengatakan renovasi yang akan dilakukan sebatas meningkatkan kekuatan struktur bangunan dan membuat stadion itu menjadi lebih aman tanpa mengubah desain keseluruhan Kanjuruhan.

Salah satu rencananya adalah memperbaiki anak-anak tangga agar tidak terlalu curam. Gerbang-gerbang yang ada saat ini juga akan diperlebar dan akan ditambah tangga-tangga yang menghubungkan bagian tribun atas untuk memastikan penonton dapat keluar dengan cepat di saat darurat.

Perubahan terbesar, kata Firmando, adalah pada kapasitas stadion.

"Tidak akan ada lagi penonton berdiri, yang tidak diperbolehkan dalam standar FIFA. Semuanya akan mendapatkan satu kursi," ujar Firmando.

Para pekerja konstruksi memasang pembatas pada 16 September 2023 di Stadion Kanjuruhan, Malang, yang akan direnovasi. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Sebelum insiden, para penonton duduk di beton panjang yang ditinggikan, membuat stadion itu dapat memuat hingga kapasitas 38.000 orang. Tapi dengan rencana pengaturan satu orang satu kursi, kapasitas penontonnya akan turun menjadi 21.650 orang, jelas Firmando.

Berbicara dalam rapat dengar pendapat di DPR pada 6 September lalu, Diana Kusumastuti, direktur jenderal cipta karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), berjanji akan memberi penghormatan terhadap para korban dengan tidak terlalu banyak mengubah stadion. 

Selain itu, mereka akan menambahkan museum dan monumen untuk mengenang para korban. Museum dan monumen itu, kata Diana, akan dibangun dekat Gerbang 13.

Pembangunan dimulai pada 11 September dan diperkirakan akan rampung dalam waktu 16 bulan. KemenPUPR juga berencana merenovasi 21 stadion lainnya di seluruh Indonesia.

JANJI REFORMASI

Ketua PSSI Erick Thohir kepada wartawan pada 15 September lalu mengatakan ada rencana untuk melakukan reformasi besar-besaran di badan pengatur sepak bola Indonesia itu untuk memastikan tragedi serupa tidak terjadi lagi.

"Saya ingin membentuk satuan tugas independen yang tidak terdiri dari orang-orang PSSI ... saya ingin keterbukaan," kata dia, menambahkan bahwa satgas tersebut memiliki tugasnya masing-masing mulai dari mengawasi suporter, menyelidiki tuduhan pengaturan pertandingan (match fixing) dan mengaudit pengeluaran PSSI dan klub-klub sepakbola.

Polisi juga berjanji akan mengevaluasi prosedur pengamanan pertandingan sepak bola agar lebih selaras dengan regulasi FIFA.

Sebulan setelah Tragedi Kanjuruhan, Kapolri Listyo Setyo Prabowo mengeluarkan peraturan yang melarang polisi menggunakan gas air mata, senjata api, granat asap atau meriam air di dalam stadion selama pertandingan sepak bola.

Di luar stadion, polisi masih boleh menggunakan senjata-senjata tersebut.

Poster dan grafiti memenuhi dinding-dinding Stadion Kanjuruhan, Malang, tempat terjadinya tragedi yang menewaskan 135 orang pada 2022. (Photo: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Akmal sebagai salah satu anggota tim pencari fakta mengatakan suporter sepak bola seharusnya juga ambil peranan dengan menghindari tindak kekerasan demi mencegah tragedi serupa terjadi kembali.

"Faktanya, satu tahun setelah tragedi kita masih melihat perusakan, tawuran, perkelahian dan perilaku buruk lainnya dari para suporter Indonesia," kata dia.

Menurut laporan media setempat, bentrok terakhir terjadi pada 19 September di Kudus, Jawa Tengah, antara suporter klub liga 2 Persiku Kudus dan Persijap Jepara. Tidak ada korban dalam peristiwa itu, tapi tawuran tersebut menyebabkan macet parah dan beberapa sarana publik rusak.

Berdasarkan data yang dikumpulkan LSM Save Our Soccer tempat Akmal bernaung, ada 78 suporter yang tewas dalam perkelahian dan tawuran terkait sepak bola antara 1995 dan 2022.

Sejak Tragedi Kanjuruhan, PSSI melarang suporter menonton langsung pertandingan tandang dan memastikan laga dua klub yang merupakan rival bebuyutan dilakukan sore hari, bukan lagi malam, demi alasan keselamatan dan keamanan.

Larangan tersebut tidak lantas dapat menghentikan kekerasan sepenuhnya.

Namun, ada beberapa suporter yang berupaya menghentikan kekerasan. Mereka menganggap Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum sempurna untuk menghentikan perselisihan antar suporter klub sepak bola.

Husein Ghozali, koordinator suporter Persebaya, mengatakan setelah Tragedi Kanjuruhan, banyak klub dan pendukungnya datang ke Malang dan menunjukkan dukungan terhadap Aremania.

Patung singa, simbol Kota Malang, ditutupi oleh para pengunjuk rasa dengan spanduk hitam yang bertuliskan "usut tuntas" merujuk pada tragedi tahun 2022 di Stadion Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Pria yang akrab dengan panggilan Cak Cong itu mengatakan, langkah ini menciptakan kesempatan yang baik bagi para suporter berbeda klub untuk mengenal satu sama lain dan menjalin hubungan.

Pembicaraan informal antara para suporter ini berujung terbentuknya Presidium Suporter Sepak Bola Indonesia pada Februari lalu, yang menjadi wadah komunikasi para fans sepak bola untuk mencegah kekerasan dan menyelesaikan perselisihan.

Namun Cak Cong mengaku masih banyak yang perlu dilakukan agar kebersamaan yang ditunjukkan para koordinator suporter berbagai klub dapat menular ke suporter di tataran bawah.

"Butuh proses. (Presidium) bahkan belum (berusia) satu tahun. Kami di sini untuk bersenang-senang dan mendukung tim kami, bukan mencari musuh. Kita semua adalah anak bangsa. Kenapa darah harus tumpah dengan sia-sia," kata dia.

"Saya berharap kita bisa bekerja sama untuk menghentikan kekerasan. Itu satu-satunya cara mencegah tragedi terjadi lagi."

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.

Source: CNA/da(ih)

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan