Skip to main content
Iklan

Lifestyle

Obsesi makan ‘sehat’ justru suatu gangguan? Kenali ortoreksia nervosa dan akibatnya

Jika Anda tak sudi mengonsumsi apa pun selain makanan organik bebas GMO yang tak mengandung karbohidrat, zat aditif, pengawet, gula buatan, atau sodium – suatu obsesi yang berpengaruh hingga ke kehidupan berkeluarga dan sosial Anda – maka Anda bukan sekadar si tukang pilih-pilih makanan.

Obsesi makan ‘sehat’ justru suatu gangguan? Kenali ortoreksia nervosa dan akibatnya
Diet terlalu ketat sampai hanya mengonsumsi makanan yang dianggap sehat disebut ortoreksia nervosa. (Foto: iStock/Nuttawan Jayawan)

SINGAPURA: Bayangkan seseorang yang tiap hari hanya makan yoghurt beku bebas perisa sebagai sarapan, makan siang, serta makan malam. Motivasinya begitu kuat untuk tekun mengonsumsi makanan yang dianggap “sehat” dan “lengkap” ini, sampai-sampai berbagai tujuan liburannya ditentukan oleh tersedia atau tidaknya yoghurt beku di sana.

Mungkin ada pula teman olahraga Anda yang sangat memperhatikan kandungan lemak, sodium, dan gula sehingga ia takkan pernah menyentuh makanan cepat saji ataupun bubble tea – dan nyinyir jika ada yang mengonsumsinya. Saat ia memesan makanan secara online, instruksinya begitu panjang sampai ruang karakter pun tak tersisa (“saus pisah, garam dan gula sedikit, tanpa bawang goreng, es kopinya kental tanpa gula”).

Meski wajar bagi mereka yang peduli akan kesehatan atau ingin bugar untuk cermat soal pola makan (tentu tak ada yang mau hasil kerja kerasnya membentuk tubuh buyar begitu saja), namun membatasi konsumsi makanan secara ekstrem sudah beda cerita.

Menurut dr. Tay Yi Hang, konsultan rekanan di bidang kedokteran psikologis di Rumah Sakit Khoo Teck Puat di Singapura, obsesi untuk hanya mengonsumsi makanan yang dianggap sehat merupakan gangguan yang dikenal sebagai ortoreksia nervosa.

"Untuk kasus-kasus ringan, orangnya mungkin menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mencari dan membeli makanan, atau merencanakan dan menyiapkan hidangan," ujar dr. Tay. "Obsesi yang menyita segalanya ini bisa mengganggu performa akademis atau pekerjaannya secara signifikan, atau memengaruhi kehidupan sosialnya.”

Beda halnya dengan gangguan makan yang lebih umum seperti anoreksia nervosa dan bulimia, “saat ini belum ada data yang dipublikasikan tentang insiden atau prevalensi ortoreksia nervosa di Singapura,” jelas dr. Tay.

Alasannya "mungkin karena ortoreksia nervosa belum diklasifikasikan sebagai diagnosis psikiatri formal” secara internasional, kata dr. Zheng Zhimin, seorang psikiater konsultan di Nobel Psychological Wellness Centre (Ang Mo Kio), anggota Healthway Medical Group di Singapura .

Memang, dr. Zheng bisa mendapati satu dua kasus semacam ini per bulan, namun masalah utamanya sering kali bukan pola makan restriktif. “Pasien biasanya datang dengan masalah mood dan/atau kecemasan, dan kemungkinan punya kecenderungan obsesif kompulsif.”

Menurut Jaclyn Reutens, ahli diet klinis dan olahraga dari Aptima Nutrition & Sports Consultants di Singapura , jumlah kasus serupa yang dia tangani telah meningkat dalam satu dekade terakhir. “Dulu saya cuma mendapati beberapa kasus dalam tiga hingga enam bulan, tapi sekarang ada setidaknya beberapa kasus per bulan.”

Ortoreksia nervosa sulit didiagnosis karena pasien mungkin terlihat sehat secara fisik serta tidak sadar bahwa ia menderita gangguan ini. (Foto: iStock/AzmanL)

Meski jumlah kasus meningkat, menurut Reutens kondisi ini “sulit didiagnosis karena mereka tampak sehat secara fisik dan sebagian besar tidak menyadari bahwa mereka punya gangguan ini.”

Ia menambahkan: “Ada yang datang ke saya karena ingin makan lebih sehat tapi tidak sadar kalau aturan-aturan terkait makanan yang mereka terapkan ke diri sendiri itu sebenarnya tidak perlu.” 

BAGAIMANA ORTOREKSIA NERVOSA MEMENGARUHI ANDA DAN ORANG-ORANG TERDEKAT?

Apa sih salahnya mencoba untuk makan sehat? Toh kita terus diingatkan untuk selalu melakukan itu. Jawab Reutens: Tergantung pada keyakinan makanan seperti apa yang menjadi obsesi seseorang.

“Misalnya, jika seseorang menganggap karbohidrat itu buruk, mereka akan menghilangkan seluruh kelompok makanan tersebut, yang bisa mengakibatkan penurunan berat badan drastis, kelelahan, dan mudah marah." Kekurangan nutrisi umum seperti zink, zat besi, kalsium, dan protein juga dapat terjadi, kata Jaclyn, hingga dapat menyebabkan kerontokan rambut, kelesuan, hilangnya massa otot, kuku rapuh atau lemah, imunitas rendah, dan kulit kering.

Kok bisa, berpantang karbohidrat dapat menyebabkan defisiensi protein? Sebab tubuh memanfaatkan protein sebagai sumber energi saat terjadi kekurangan karbohidrat, terutama jika Anda juga menerapkan diet rendah lemak.

Individu dengan ortoreksia nervosa cenderung menarik diri demi menjaga apa yang ia makan. (Foto: iStock/Edwin Tan)

Menurut Reutens, ketika seseorang bertekad untuk menghindari bahan pengawet, perubahan fisiknya mungkin tidak kentara karena tidak ada kelompok makanan utama yang dihilangkan, namun kesehatan mentalnya tetap bisa terganggu.

"Secara mental, hidup dengan ortoreksia nervosa itu melelahkan," ujarnya. "Orangnya memikirkan apa yang akan dia makan sepanjang hari sejak bangun tidur. Selebihnya, dia memikirkan bagaimana dietnya bisa lebih 'sempurna' sesuai dengan tujuan-tujuan pribadi yang biasanya tidak realistis."

Frustrasi muncul ketika orang itu sulit menemukan sumber makanan “sehat” yang memadai, kata dr. Tay. Dan “pelanggaran terhadap aturan-aturan diet yang diberlakukan sendiri ini bisa menyebabkan rasa risih personal, rendah diri, rasa bersalah, kecemasan, atau bahkan ketakutan berlebih terhadap penyakit.”

Masih ada dampak lain yang dapat ditimbulkan oleh gangguan makan ini. Individu dengan ortoreksia nervosa cenderung menghindari acara-acara sosial agar tidak kesulitan mengontrol konsumsi makanan, kata dr. Zheng. "Ini dapat berdampak negatif pada hubungan sosial, karena makan bareng sering jadi cara untuk menjalin ikatan."

Selain itu, individu tersebut “bahkan bisa mengontrol pola makan orang-orang terdekat mereka, seperti anak-anak mereka, karena takut mereka nanti tidak sehat,” tambah dr. Zheng.

SIAPA YANG RENTAN?

Ortoreksia nervosa diyakini berawal dari kecenderungan "perfeksionisme yang mendasari, pola pikir yang kaku, rasa rendah diri, atau ketidakstabilan dalam rasa identitas diri," jelas dr. Tay. “Berada di lingkungan yang sangat fokus pada diet, misalnya sebagai atlet atau bekerja di bidang kesehatan, juga telah terbukti merupakan salah satu faktor risiko munculnya ortoreksia nervosa.”

Menurut dr. Zheng, individu dengan riwayat obesitas dan persepsi negatif terhadap bentuk tubuhnya bisa pula mengalami gangguan makan ini "demi mengendalikan berat badan dan mencapai citra tubuh yang mereka anggap 'ideal'."
 

Individu dengan riwayat obesitas dan persepsi negatif terhadap bentuk tubuhnya dapat mengalami gangguan ini. (Foto: iStock/Be-Art)

ORTOREKSIA NERVOSA, ATAU CUMA SI TUKANG PILIH-PILIH MAKANAN?

Apabila dengan menjadi sangat selektif terhadap makanan, Anda menghindari acara kumpul-kumpul, hubungan personal Anda jadi rumit, dan Anda merasa cemas serta bersalah, mungkin Anda mengalami ortoreksia nervosa, ungkap dr. Zheng.

"Ini merupakan obsesi yang sangat berlebihan terhadap jenis makanan yang dianggap 'aman' untuk dikonsumsi dan menghasilkan pola makan yang sangat terbatas. Singkatnya, kondisi ini jauh lebih serius daripada sekadar pilih-pilih makanan."

Sebaliknya, menurut dr. Tay, kebiasaan pilih-pilih makanan bisa bermasalah jika mulai memengaruhi berbagai aspek kehidupan yang telah disebutkan tadi. Risiko muncul ketika "nilai diri atau identitas diri hampir sepenuhnya tergantung pada kepatuhan terhadap pola makan yang dianggap sehat", atau "ketika pemenuhan makanan 'sehat' justru menyebabkan malnutrisi atau penurunan berat badan yang parah."

Ortoreksia nervosa jauh lebih serius daripada sekadar rewel soal makanan. (Foto: iStock/gpointstudio)

BANTUAN APA SAJA YANG TERSEDIA?

Berhubung ortoreksia nervosa belum diakui sebagai gangguan mental, "saat ini literatur terkait penanganan berdasarkan bukti masih kurang" untuk gangguan ini, kata dr. Tay. "Namun, seperti halnya pada bentuk-bentuk gangguan makan lainnya, pendekatan secara holistik" yang melibatkan tim psikolog, psikiater, dan ahli gizi mungkin dapat diterapkan untuk mengembalikan pola makan normal dan berat badan yang sehat di samping menangani kondisi-kondisi psikiatri yang ada.

Gangguan berupa kecemasan dan suasana hati lainnya dapat diatasi melalui diskusi dengan terapis guna membentuk pola pikir yang lebih sehat terkait kepercayaan diri dan sikap terhadap makanan. Obat-obatan seperti antidepresan juga bisa diresepkan untuk mengurangi pikiran obsesif dan kecemasan.

Selain perencanaan pola makan, ahli gizi dapat membantu mengatasi sindrom refeeding yang bisa fatal ketika seseorang mengalami pemulihan makan yang cepat setelah lama kekurangan gizi.

Urusan makan dapat membuat penderita ortoreksia nervosa merasa cemas, jadi hindari memberi komentar yang bisa membuat mereka malu. (Foto: iStock/Tomwang112)

KENAL SESEORANG DENGAN ORTHOREXIA NERVOSA?

Orang dengan kondisi ini cenderung merasa cemas soal makanan, jelas dr. Zheng. Jadi, berusahalah untuk memahami, dan hindari membuat komentar yang bisa membuat mereka malu.

Misalnya, hindari berkomentar soal pilihan makanan orang tersebut, saran Reutens. Sebagai gantinya, tawarkan hidangan yang seimbang yang terdiri dari berbagai jenis bahan, mencakup semua kelompok makanan penting, ujar dr. Tay.

“Hindari topik diet maupun bicara tentang rasa bersalah atau malu terkait apa yang telah Anda makan,” tambah dr. Tay. “Bahas soal pentingnya merawat diri dan gizi, serta syukuri segala jenis makanan sebagai sumber kenikmatan dan pendukung kehidupan, terlepas dari asal atau kandungannya.”

Di luar urusan makan, “jangan fokus atau berkomentar soal penampilannya,” kata Reutens. “Komentar yang seolah biasa seperti ‘kamu nampak sehat’ dapat memicu seseorang dengan gangguan makan.”

Jika ada kesempatan untuk bicara soal pilihan makanan mereka, sampaikan dengan baik. "Anda tidak bisa memaksa seseorang untuk mengubah keyakinannya. Jika Anda melakukan itu, ada kemungkinan nanti malah berbalik, mereka yang berusaha meyakinkan Anda bahwa mereka baik-baik saja, meski kenyataannya tidak," ujar dr. Reutens.

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai bagaimana cara ART asal Indonesia di Singapura menjaga kesehatan fisik dan mentalnya. 

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan