Pengamat: Skandal ketua KPK Firli Bahuri, ujian bagi komitmen antikorupsi Jokowi
Ketua KPK Firli Bahuri sudah sering dilaporkan karena pelanggaran kode etik. Dengan tuduhan pemerasan yang dilakukannya kali ini, para aktivis lantas mempertanyakan: Bagaimana dia bisa dipilih dan bertahan lama?

JAKARTA: Rumah dua lantai di permukiman mewah daerah Senopati, Jakarta, itu tampak tak berpenghuni ketika CNA bertandang beberapa waktu lalu.
Pagarnya yang setinggi tiga meter digembok, gorden rumah tertutup rapat. Selain gemerisik pohon-pohon perindang yang menaungi, hampir tak ada tanda-tanda kehidupan di rumah bergaya minimalis itu.
Pada 26 Oktober lalu, rumah itu digeledah para penyidik polisi berkemeja lengan pendek putih dan bercelana panjang hitam, dikawal petugas bersenjata lengkap dengan rompi anti peluru yang melapisi seragam coklat kepolisian mereka.
Para penyidik tengah mengumpulkan barang bukti atas kasus yang menimpa penyewa rumah tersebut, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri.
Firli dituduh memeras uang dari mantan menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo yang saat ini tengah diselidiki KPK dalam kasus dugaan penyuapan.
Kepolisian Polda Metro Jaya belum mengungkapkan barang bukti apa yang berhasil mereka kumpulkan di rumah Senopati itu dan satu rumah lainnya di pinggiran kota Jakarta, yang juga dimiliki Firli.

Tidak seperti Syahrul, Firli belum secara resmi dijadikan tersangka, namun desakan terus bermunculan dari para aktivis dan pengamat agar polisi segera menjerat ketua KPK tersebut.
"Setidaknya, Firli harus mundur dari KPK," kata Kurnia Ramadhana, peneliti dari lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada CNA. Kurnia khawatir, Firli bisa menggunakan jabatannya sebagai ketua KPK untuk merusak barang bukti atau menghalangi penyelidikan polisi.
Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum dari Universitas Trisakti Jakarta, mengatakan bahwa kasus ini menjadi ujian bagi komitmen Presiden Joko Widodo dalam memerangi korupsi. Pasalnya, pemerintah Jokowi-lah yang bertanggung jawab mencalonkan dan mengangkat Firli menjadi ketua KPK pada 2019.
"Firli adalah figur bermasalah yang seharusnya sejak awal tidak memimpin KPK," kata Fickar kepada CNA sembari menyoroti bahwa Firli beberapa kali dinyatakan bersalah atas pelanggaran kode etik dan kedisiplinan selama memimpin.
"Jokowi seharusnya memastikan bahwa KPK hanya diisi oleh orang-orang yang kompeten dan terpercaya, jika memang dia ingin dikenang sebagai presiden yang berkomitmen dalam memerangi korupsi," lanjut Fickar.

BAGAIMANA SEMUA BERMULA
KPK pada 2020 mendapatkan laporan dari para aktivis dan orang-orang dalam Kementerian Pertanian (Kementan) soal dugaan korupsi Syahrul.
Syahrul dituduh memeras uang dari para pejabat tinggi Kementan sebagai imbalan kenaikan jabatan atau agar jabatan mereka dipertahankan.
Wakil ketua KPK Johanis Tanak pada konferensi pers 11 Oktober lalu mengatakan bahwa setiap pejabat Kementan harus menyediakan uang antara US$4.000 hingga US$10.000 kepada Syahrul dan dua tersangka lainnya setiap bulan sejak 2020 hingga tahun ini.
Namun perlu waktu bagi KPK untuk akhirnya melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi Syahrul ini.
Pada 29 September lalu, para penyidik KPK menggeledah rumah Syahrul di kompleks perumahan mewah Widya Chandra. Ketika itu, Syahrul tengah dalam kunjungan kerja resmi ke Eropa.
Di antara barang yang disita dalam penggeledahan di rumah itu adalah sebuah cek senilai Rp2 triliun, 12 senjata api dan uang tunai Rp30 miliar.
Syahrul pulang ke Jakarta pada 4 Oktober. Sehari setelahnya, dia mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan ketua KPK yang dituduh mencoba memerasnya.

Firli membantah tuduhan tersebut. “Saya pastikan bahwa kami tidak pernah melakukan hubungan dengan para pihak, apalagi meminta sesuatu atau disebut dengan pemerasan," kata Firli pada temu wartawan 5 Oktober silam.
Namun dua hari kemudian, muncul foto dirinya yang bertemu Syahrul di sebuah lapangan bulutangkis.
Firli mengakui dia memang pernah bertemu dengan Syahrul, tapi menegaskan bahwa keduanya tidak membicarakan kasus. Dia juga mengatakan pertemuan itu terjadi pada Maret 2022, sebelum KPK mulai menyelidiki kasus dugaan korupsi Syahrul.
Mantan komisioner KPK, Saut Situmorang, mengatakan alasan Firli tidak bisa diterima.
"Ketika ada laporan korupsi terhadap seseorang, maka orang itu otomatis menjadi pihak yang berperkara. Seorang ketua KPK seharusnya tidak menemui pihak yang berperkara. Bahkan jika pertemuan itu terjadi secara kebetulan, seharusnya dilaporkan ke komisioner yang lain," kata Saut kepada CNA.
SOSOK KONTROVERSIAL
Ini bukan kali pertama Firli terlibat masalah karena menemui pihak yang berperkara.
Pada 2018 ketika masih menjabat deputi penindakan KPK, dia juga dinyatakan bersalah telah melanggar kode etik karena menemui gubernur Nusa Tenggara Barat ketika itu, Muhammad Zainul Majdi, yang menjadi saksi sebuah kasus korupsi.
Di tahun yang sama, Firli juga dinyatakan bersalah karena menemui saksi kasus korupsi lainnya, wakil ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saat itu Bahrullah Akbar, beberapa jam sebelum diperiksa oleh penyidik KPK.
Akibat pelanggaran ini, Firli yang saat ini merupakan jenderal bintang tiga dibebastugaskan dari KPK dan dikembalikan ke kepolisian.

Itulah mengapa para aktivis meradang ketika panitia seleksi calon pimpinan KPK bentukan pemerintah Jokowi menominasikan Firli Bahuri.
"Bagaimana bisa seorang yang punya catatan buruk lolos proses seleksi? (Para aktivis) telah mencoba mengingatkan panitia seleksi pada pelanggaran-pelanggaran Firli di masa lalu, tapi mereka tetap maju dan mencalonkan dia," kata Danang Widiyoko, sekretaris jenderal Transparency International Indonesia, kepada CNA.
Setelah menjabat ketua KPK, Firli masih terus melakukan pelanggaran kode etik.
Pada 2020, dia mendapatkan sanksi teguran karena disewakan helikopter oleh seorang pengusaha untuk perjalanan pribadi. Sejauh ini, Firli telah diselidiki oleh dewan pengawas KPK empat kali, dan pertemuan dengan Syahrul adalah kasus teranyar.
Firli kemungkinan akan kembali terlibat masalah, kali ini terkait dengan penggeledahan rumahnya 26 Oktober silam.
Berdasarkan undang-undang, pejabat tinggi negara harus mendeklarasikan seluruh kekayaan dan asetnya. Sementara rumah sewaan itu tidak terdapat dalam daftar aset yang diumumkan Firli ke publik.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak mengatakan, walau digunakan oleh Firli namun rumah tersebut disewa atas nama pengusaha Alex Tirta seharga Rp650 juta per tahun.
Pengacara Firli, Ian Iskandar, mengatakan kliennya menggunakan perantara dan tidak tahu bahwa rumah itu disewakan kepada Alex, seorang pengusaha kontroversial yang memiliki beberapa kelab malam, hotel dan panti pijat.
"Firli menggunakan rumah itu sebagai tempat istirahat," kata pengacaranya, menambahkan bahwa menyewa rumah itu telah menghemat waktu kliennya ketimbang berangkat dari rumahnya di pinggiran Jakarta. Ian juga mengatakan bahwa Firli hanya membayar sewa tidak lebih dari Rp100 juta per tahun.
Saut, mantan komisioner KPK, mengatakan polisi seharusnya membuka penyelidikan terpisah soal mengapa Firli mampu menyewa rumah dengan harga semahal itu. Pasalnya, setiap bulannya Firli hanya mengantongi gaji Rp123 juta.
"Jika Firli membayar penuh 650 juta kepada Alex, bagaimana bisa dengan gaji segitu? Jika Firli hanya membayar 100 juta, maka itu adalah gratifikasi," kata Saut.
Dalam hukum antikorupsi di Indonesia, gratifikasi adalah pemberian hadiah, bantuan atau uang tunai lebih dari Rp300.000 dari pihak manapun kepada penyelenggara negara, terlepas dari apakah pemberian tersebut dilakukan agar penerima melakukan sesuatu atau tidak.
Jika pemberian itu melebihi nilai Rp10 juta, maka bisa dianggap sebagai suap dan penyelenggara negara yang menerimanya terancam hukuman penjara seumur hidup.
PERLU DIREFORMASI
Danang mengatakan penetapan Firli sebagai ketua KPK menunjukkan ada yang salah dengan cara pemerintah Jokowi dalam menyeleksi dan mencalonkan orang-orang di kabinet dan jabatan strategis lainnya.
"Proses seleksi harus transparan dan mempertimbangkan masukan dari publik serta organisasi-organisasi kemasyarakatan," kata Danang, menambahkan bahwa sejauh ini pemerintahan Jokowi sangat buruk dalam menyeleksi calon-calon untuk mengisi jabatan strategis.
Syahrul adalah menteri keenam di kabinet Jokowi yang tersandung kasus korupsi, paling banyak dibanding presiden lainnya di Indonesia.
Empat menteri sebelumnya telah dinyatakan bersalah dengan vonis penjara antara tiga hingga 12 tahun. Menteri kelima, yaitu mantan menteri komunikasi dan informasi Johnny Plate masih menjalani persidangan.

Pejabat tinggi lainnya yang didakwa karena korupsi adalah Henri Alfiandi, mantan kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), jabatan non-kabinet tapi ditunjuk langsung oleh Jokowi.
Kasus Henri, seorang jenderal angkatan udara aktif, belum masuk ke pengadilan karena masih dalam penyelidikan oleh polisi militer.
Fickar, pengamat dari Trisakti, mengatakan Jokowi harus lebih serius dalam menyeleksi orang-orang untuk mengisi jabatan strategis. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana caranya agar jabatan-jabatan tersebut dapat terus dipantau dan diawasi.
"Untuk KPK, pengawasan harus dua atau tiga kali lipat lebih ketat dibanding lembaga lainnya, karena KPK seharusnya menjadi contoh seperti apa seharusnya lembaga publik yang bersih dan transparan," kata dia.
"Kenyataan bahwa orang seperti Firli bisa lolos dari begitu banyaknya pelanggaran etik sejak lama menunjukkan bahwa ada yang salah dengan cara pengawasan pejabat KPK."
KPK diawasi oleh dewan pengawas yang terdiri dari lima anggota, kesemuanya diuji dan dicalonkan oleh panitia seleksi yang ditunjuk presiden.
Tapi Kurnia dari ICW mengatakan dewan pengawas KPK bergerak terlalu lambat dan sanksi yang mereka jatuhkan terlalu lemah.
"Firli berkali-kali melakukan pelanggaran dan setiap kali dia dinyatakan bersalah atas pelanggaran kode etik KPK, dia mendapatkan tidak lebih dari teguran tertulis," kata Kurnia.
Dewan Pengawas KPK, lanjut Kurnia, seharusnya lebih tegas terhadap Firli. Dia berkali-kali mangkir hadir di sidang etik, membuat proses penyelidikan tertunda.
"Firli menemui pihak berperkara yang menjadi subjek penyelidikan dugaan korupsi. Ini jelas adalah pelanggaran kode etik. Bukti apalagi yang dibutuhkan (dewan pengawas)?" kata dia.

Danang dari Transparency International mengatakan ada konsekuensi serius jika mencalonkan sosok yang bermasalah di jabatan strategis.
Pada 2018, Indonesia menempati posisi ke-85 dari 180 negara dalam indeks persepsi korupsi oleh Transparency International. Indonesia mendapatkan skor 40 dari skala 0 untuk paling korup dan 100 untuk bersih dari korupsi.
Tapi setelah Firli menjadi ketua KPK, ranking Indonesia menurun setiap tahunnya.
Pada 2022, ranking Indonesia anjlok 25 peringkat ke posisi 110. Indonesia mendapatkan skor 34, setara dengan negara-negara yang pernah dilanda perang yaitu Sierra Leone dan Bosnia-Herzegovina.
Tahun lalu, negara tetangga Singapura mendapatkan skor 83, sementara Malaysia dan Timor Leste mendapatkan skor masing-masing 47 dan 42.
"Penting untuk memastikan KPK kembali bersih dan terpercaya, bebas dari figur-figur bermasalah," kata Danang. "Jika tidak, maka ibaratnya seperti menyapu rumah dengan sapu yang kotor."
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.