Amankah berolahraga bagi penderita diabetes? Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan?
Olahraga ternyata dapat membantu mengurangi ketergantungan pada pengobatan insulin, simak juga kata pengamat soal penurunan berat badan, suplemen protein dan pembentuk otot bagi penderita diabetes.

(Photo: iStock/Chinnapong)
SINGAPURA: Berolahraga bisa jadi tantangan tersendiri ketika Anda didiagnosis menderita diabetes mellitus, yang mencakup diabetes Tipe 1 dan 2. Anda perlu rutin memantau kadar gula darah atau glukosa saat joging atau berlatih di pusat kebugaran.
Jika kadar glukosa darah Anda menurun secara signifikan, Anda berpotensi mengalami hipoglikemia. Hal ini dapat menimbulkan gejala seperti gemetar, pusing, detak jantung tidak teratur, dan sakit kepala. Ini tidak baik, terlebih-lebih jika Anda sedang berjalan cepat lalu pingsan.
Jika kadarnya terlalu tinggi, Anda bisa mengalami hiperglikemia – kekhawatiran serius bagi para penderita diabetes Tipe 2 yang lebih umum. Gejala utama hiperglikemia melibatkan peningkatan rasa haus, keinginan makan, dan frekuensi buang air kecil. Jika tidak diatasi, konsekuensinya bisa sangat serius, termasuk risiko koma diabetes dan kerusakan pada organ-organ tubuh seperti mata, ginjal, saraf, dan jantung.
Hal ini dapat membuat penderita diabetes merasa kewalahan, terutama ketika mereka hanya ingin berjalan-jalan di taman atau menggelar matras untuk berlatih yoga. Kita bahkan belum mempertimbangkan kelelahan, rendahnya energi, dan berbagai kondisi kesehatan lain yang sering dialami oleh pasien diabetes.
Namun, olahraga dapat menjadi kunci untuk membantu Anda mengelola kadar glukosa darah dengan lebih baik, mencapai titik manis Goldilocks –bahkan mengurangi ketergantungan Anda pada pengobatan insulin, demikian menurut para pakar.

BAGAIMANA OLAHRAGA MEMBANTU MENGONTROL GLUKOSA DARAH?
"Pada individu yang mengalami kelebihan berat badan dan menderita diabetes Tipe 2, penurunan berat badan sekitar 7 hingga 10 persen akan secara dramatis memperbaiki kadar gula darah dengan membuat mereka lebih responsif terhadap efek insulin," ungkap Profesor Tai Ee Shyong, Direktur Pusat Pencegahan dan Penanganan Penyakit Kronis di National University of Singapore.
Suka atau tidak suka, olahraga merupakan kunci utamanya. "Kontraksi otot selama berolahraga memungkinkan sel-sel tubuh mengambil glukosa sebagai sumber energi, terlepas dari ketersediaan insulin," ujar Cheryl Tan, pelatih kesehatan di Well Programme, Alexandra Hospital, Singapura. Selain itu, sensitivitas insulin meningkat selama dan setelah berolahraga, bahkan hingga 24 jam atau lebih, tambahnya.
Chermine Tan, fisioterapis senior dari Allium Healthcare, menjelaskan: "Ketika sel-sel Anda lebih responsif terhadap insulin, mereka dapat mengambil glukosa dari aliran darah dengan lebih efisien, yang pada akhirnya menghasilkan kadar gula darah yang lebih rendah."
Dan bukan saat berolahraga saja tubuh Anda menggunakan glukosa sebagai sumber energi. "Setelah berolahraga, otot-otot Anda terus menyerap glukosa untuk pemulihan dan pengisian ulang, sehingga semakin menstabilkan kadar gula darah," ungkapnya.

INGIN BULATKAN TEKAD UNTUK MULAI BEROLAHRAGA?
Banyak pengidap diabetes mungkin memiliki kondisi kesehatan lain seperti nyeri sendi, penyakit jantung, penyakit ginjal, masalah berat badan, atau gangguan penglihatan. Menurut Profesor Ee Shyong, semua ini merupakan hambatan besar untuk melakukan olahraga.
Penderita diabetes mungkin juga sudah lanjut usia dan kurang aktif secara fisik, sehingga bingung bagaimana memulai rutinitas kebugaran. Selain itu, ada juga rintangan psikologis. "Motivasi merupakan bagian tersulit. Sebagian orang memang tidak suka berolahraga," ungkap Profesor Ee Shyong.
Toh bukan mustahil meyakinkan para penghindar olahraga ini untuk, misalnya, mengangkat dumbel. Mulailah dengan membantu mereka menyadari bahwa mereka memiliki respons emosional terhadap olahraga, dan cari tahu mengapa respons ini muncul, kata Profesor Ee Shyong. "Setelah itu, kita bantu mereka cari cara untuk mengatasi respons emosional awal ini, supaya mereka bisa memikirkan kenapa mereka melakukannya."
Menurut Profesor Ee Shyong, pada sebagian besar kasus, motivasi berolahraga bukan hanya untuk meningkatkan kesehatan. "Saya tidak bicara soal olahraga atau aktivitas fisik dengan pasien-pasien saya (sebagai cara) untuk menangani atau mencegah diabetes. Saya minta mereka memikirkan hal yang mereka ingin bisa lakukan (misalnya naik tangga jembatan penyeberangan atau mengangkat koper 7kg ke kompartemen atas di pesawat) dan berupaya menuju target itu."
KEGIATAN HARIAN APA SAJA YANG BISA DIHITUNG SEBAGAI OLAHRAGA?
American Diabetes Association menyarankan agar penderita diabetes melakukan setidaknya 150 menit aktivitas fisik intensitas sedang tiap pekannya. Kabar baiknya, Anda dapat menghitung aktivitas seperti naik tangga dan berjalan kaki ke warung untuk membeli lauk sebagai bagian dari kuota ini, ujar Cheryl.
"Selama itu merupakan aktivitas yang melatih otot-otot besar, meningkatkan detak jantung, dan membuat Anda bernapas lebih kencang – hampir semua bentuk aktivitas fisik memberikan manfaat," tambahnya.
Bagaimana jika seluruh kuota 150 menit per pekan ini diisi dengan aktivitas fisik saja? Meski Anda mungkin berkeringat saat mengganti seprai, intensitasnya tidak mencukupi untuk menyamai latihan ketahanan dengan angkat beban, atau latihan aerobik seperti berlari, berenang, dan bersepeda, jelas Chermine.
Analoginya mirip dengan air mendidih. Saat Anda meningkatkan panasnya, air akan mendidih lebih cepat. Begitu pula ketika Anda melakukan aktivitas dengan intensitas yang lebih tinggi, Anda meningkatkan kebutuhan tubuh Anda akan glukosa.

Selain itu, olahraga dapat direncanakan dan dijadwalkan, sehingga Anda punya kontrol yang lebih baik atas kapan dan seberapa banyak aktivitas fisik yang dilakukan, kata Chermine. "Prediktabilitas ini memudahkan penderita diabetes untuk mengelola kadar gula darah dengan menyesuaikan dosis insulin atau obat, asupan karbohidrat, atau faktor-faktor lain secara sesuai."
ATASI BERBAGAI HAMBATAN BEROLAHRAGA
Jika Anda baru saja didiagnosis menderita diabetes mellitus dan tidak yakin bagaimana caranya mulai aktif berolahraga, kami siap membantu Anda. Berikut ini saran dari para ahli terkait beberapa skenario umum yang mungkin menghalangi Anda berolahraga:

Skenario 1: Saya tidak yakin apa yang harus saya perhatikan
Pantau kadar glukosa darah Anda sebelum, selama, dan setelah berolahraga demi menghindari risiko pingsan di tengah-tengah latihan (akibat hipoglikemia) atau potensi kerusakan pada organ tubuh seperti ginjal, jantung, mata, dan saraf dalam jangka panjang (akibat hiperglikemia).
Sebelum berolahraga: Jika Anda menggunakan insulin atau obat penurun glukosa darah lainnya, pastikan kadar glukosa darah Anda dalam kisaran yang aman (biasanya 100mg/dL hingga 250mg/dL atau 5,6mmol/L hingga 13,9mmol/L) 15 hingga 30 menit sebelum berolahraga, saran Mary-ann Chiam, ahli gizi senior di Allium Healthcare. Dia menambahkan, tindakan pencegahan semacam itu tidak perlu jika Anda tidak sedang minum obat.
Hipoglikemia umumnya terjadi pada pengobatan yang melibatkan insulin atau obat penurun glukosa lainnya. Jika kadar glukosa darah Anda rendah, lihat Skenario 2 untuk mengetahui cara mengatasinya. Atau mungkin Anda perlu mencari obat lain dan menyesuaikan petunjuk penggunaannya.
"Untuk individu dengan diabetes Tipe 2, ada beberapa jenis obat yang tidak menyebabkan hipoglikemia," ungkap Profesor Ee Shyong. Alternatifnya, "mungkin perlu menunda konsumsi beberapa obat hingga setelah berolahraga, ketika Anda siap untuk makan. Bagi pasien Tipe 1, mereka mungkin perlu menyesuaikan dosis insulin mereka." Diskusikan dengan dokter Anda sebelum melakukan perubahan apa pun.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kadar keton dalam urin Anda, ujar Chermine. "Keton diproduksi saat tubuh memecah lemak untuk energi, dan keberadaannya menandakan bahwa tubuh Anda tidak punya cukup insulin untuk mengendalikan kadar gula darah." Berolahraga ketika kadar keton sedang tinggi dapat meningkatkan risiko ketoasidosis, kondisi yang dapat membahayakan jiwa dan memerlukan perhatian medis segera, tambahnya.
Selama berolahraga: Yang kadang mengkhawatirkan adalah hipoglikemia, kata Chermine. "Kalau Anda berencana untuk berolahraga lama, periksa kadar glukosa darah Anda tiap 30 menit, terutama jika Anda sedang menjajal aktivitas baru atau meningkatkan intensitas atau durasi olahraga, supaya Anda tahu apakah aman untuk terus berlatih."
Jika Anda merasa gemetar, lemah, atau linglung selama berolahraga, berhentilah seketika. Kadar glukosa darah Anda kemungkinan berada pada kisaran 70mg/dL (3,9mmol/L) atau lebih rendah, ujar Chermine. Untuk meningkatkannya, konsumsilah sekitar 15g karbohidrat yang bekerja cepat, seperti tablet glukosa, setengah cangkir jus buah, setengah cangkir minuman ringan biasa, atau makanan manis yang keras.

Periksa kembali kadar glukosa darah Anda 15 menit kemudian. Jika masih terlalu rendah, konsumsi lagi 15 gram karbohidrat dan tes kembali setelah 15 menit, saran Chermine. "Lakukan langkah ini sesuai kebutuhan sampai gula darah Anda mencapai setidaknya 70mg/dL (3,9mmol/L). Jika latihan Anda belum selesai, lanjutkan setelah kadar gula darah kembali ke kisaran aman."
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memastikan sepatu Anda pas, sebab kaki rentan terhadap kerusakan saraf atau penyumbatan pembuluh darah, kata Profesor Ee Shyong. "Kalau punya penyakit jantung, perhatikan gejala seperti nyeri dada atau sesak napas yang meningkat, karena ini bisa jadi indikasi memburuknya kondisi jantung Anda."
Setelah berolahraga: Cek kadar glukosa darah Anda segera setelah berolahraga, dan beberapa kali selama beberapa jam berikutnya, saran Chermine.
Untuk mencegah penurunan kadar glukosa darah, pilih camilan karbohidrat yang bekerja lebih lambat seperti granola bar atau trail mix. Alternatifnya, nikmati camilan kecil yang mengandung karbohidrat, seperti buah, biskuit, tablet glukosa, atau minum setengah cangkir jus buah, imbuh Chermine.

Skenario 2: Saya tidak bisa makan terlalu pagi
Sumber karbohidrat cepat yang baik sebagai sumber tenaga tanpa menyebabkan kembung bisa berupa separuh pisang, sepotong roti panggang gandum, atau beberapa biskuit gandum, saran Mary-ann.
Atau, pilihlah karbohidrat cair yang lebih mudah ditoleransi, seperti jus buah tanpa pemanis, minuman energi, atau smoothie dengan tambahan yoghurt dan buah. Jika masih sulit mencerna semuanya, coba tablet atau gel glukosa. Sebaiknya, makan atau minumlah sesuatu 30 menit sebelum berolahraga.
Mereka yang menggunakan insulin bahkan dapat mengonsumsi karbohidrat pada malam sebelumnya, ujar Mary-ann. "Minum segelas susu hangat dan makan pisang, yang mengandung triptofan untuk bantu tidur nyenyak, dua jam sebelum tidur."
Jika Anda bangun dengan kadar keton yang tinggi (250mg/dL atau 13,9mmol/L atau lebih tinggi), minumlah lebih banyak air, istirahat, dan tunggu hingga hasil tes keton Anda menunjukkan tingkat yang aman sebelum keluar rumah, ujar Mary-ann.
Skenario 3: Saya ingin berolahraga tetapi selalu lelah
Mereka yang mengidap diabetes memang lebih sering merasa lelah dibandingkan dengan orang sehat, ungkap Cheryl. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi kadar glukosa darah serta variasi jumlah dan efektivitas insulin dalam tubuh.
Untuk mengatasi rendahnya energi, "pertimbangkan faktor-faktor lain yang bisa turut menyebabkan kelelahan, seperti kurang tidur, stres emosional, rasa bosan, periode puncak insulin, dan pastikan asupan nutrisi Anda mencukupi sebelum berolahraga," saran Cheryl. "Kemudian, mulailah pelan-pelan dengan latihan yang Anda suka dan nyaman bagi Anda."

Skenario 4: Banyak sekali barang yang harus saya bawa ke pusat kebugaran
Ikuti saran Cheryl: Siapkan tas kecil untuk paket diabetes yang dapat Anda masukkan ke dalam tas olahraga – dan isi kembali ketika hampir habis.
Berikut adalah beberapa barang yang dapat Anda masukkan ke dalam tas tersebut: Glukometer, sebungkus biskuit, sebungkus Milo instan, tablet glukosa, dan permen. "Pastikan juga kecukupan strip penguji glukosa, lanset, dan penyeka alkohol untuk glukometer," ujarnya. Jika gym Anda sudah menyediakan tablet dan gel glukosa, maka beban Anda kian berkurang.

Skenario 5: Saya ingin membentuk otot
Ini bisa lebih sulit bagi pasien diabetes, ungkap Chermine, karena "kekurangan insulin dalam tubuh bisa menghambat penyimpanan dan pemanfaatan nutrisi secara tepat, sehingga dapat membatasi kemampuan tubuh untuk membangun otot".
"Hiperglikemia juga bisa meningkatkan pemecahan protein dan mengurangi sintesis protein, dua proses penting untuk membangun otot," tambahnya. "Di sisi lain, kadar glukosa darah yang rendah bisa menyebabkan kurangnya energi dan fokus, sehingga menyulitkan latihan."
Kuncinya adalah memahami data yang telah Anda lacak. "Tunjukkan data Anda ke dokter untuk mengidentifikasi pola kadar glukosa darah, dan (bersiaplah untuk) mengantisipasi serta bereaksi dengan tepat ke depannya," pesan Chermine. "Dengan rajin-rajin memanajemen diabetes, penderitanya masih bisa mencapai pembentukan otot."
Dari segi latihan, tidak ada bedanya dengan mereka yang baru memulai latihan kekuatan atau ketahanan: Dapatkan panduan dan pengawasan yang tepat. Menurut Cheryl, hal ini akan membantu mencegah cedera serta masalah-masalah terkait pembebanan berlebih pada sendi, jaringan lunak, dan otot.

Skenario 6: Saya tidak yakin apakah saya boleh mengonsumsi protein dan suplemen pembentuk otot lainnya
Menurut Mary-ann, jika diabetes Anda tidak terkontrol dan Anda mengalami masalah ginjal, maka protein shake tidak dianjurkan. Selain itu, Anda perlu "menyesuaikan asupan protein karena ginjal Anda mungkin kesulitan mengeluarkan produk limbah dari pencernaan protein," ujarnya.
Lantas bolehkah meningkatkan asupan protein dengan makanan seperti dada ayam dan telur, terutama jika Anda dapat menjaga kadar glukosa darah tetap stabil? "Yang lebih penting adalah memastikan pola makan seimbang dengan makanan yang tinggi serat, rendah indeks glikemik, dan kadar protein sedang, daripada sekadar fokus ke makanan kaya protein yang sering kali juga tinggi lemak," saran Mary-ann. Jika Anda ragu, konsultasikan dengan ahli gizi untuk menyesuaikan pola makan sesuai kebutuhan diabetik dan tingkat aktivitas Anda, tambahnya.
Kunci utamanya? Selalu konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi sebelum membeli suplemen apa pun, pesan Cheryl. "Beberapa suplemen olahraga, seperti kreatina, mungkin tidak cocok bagi mereka yang punya nefropati diabetik atau masalah fungsi ginjal."

Skenario 7: Saya mencoba mengurangi karbohidrat dan gula demi menurunkan berat badan
Jika sudah membaca sampai sejauh ini, Anda mungkin bertanya-tanya: Kok banyak sekali glukosa dan karbohidrat yang harus dikonsumsi agar tidak mengalami hipoglikemia saat berolahraga? Bukankah itu justru kontraproduktif bagi upaya menurunkan berat badan?
Sebagaimana disebutkan Profesor Ee Shyong di awal, ada obat-obatan yang tidak memengaruhi kadar glukosa darah, dan Anda sebaiknya membahas hal ini dengan dokter.
Ya, kurangi konsumsi gula putih dan hindari sumber karbohidrat olahan seperti nasi putih, pasta biasa, dan roti putih dalam pola makan Anda, sebab aneka makanan tersebut dapat menyebabkan lonjakan kadar glukosa darah yang tidak diinginkan. Meski demikian, karbohidrat bukanlah musuh. "Perlu dipahami bahwa karbohidrat esensial bagi kesehatan yang optimal," kata Cheryl. "Di luar situasi penggunaan gula sebagai penangkal hipoglikemia, selalu pilih karbohidrat kompleks yang lebih sehat untuk dimakan dalam jumlah yang sesuai."

Berikut adalah contoh dari Mary-ann terkait jumlah karbohidrat yang tepat untuk dikonsumsi setelah satu jam latihan aerobik yang biasanya membakar sekitar 455 kalori: 15g karbohidrat cepat diperoleh dari satu tablet glukosa atau satu sendok makan madu dicampur dengan secangkir air hangat. Setelah itu, lanjutkan dengan 15g karbohidrat tahan lama, seperti sepotong roti gandum dengan selada atau tomat.
Bagaimana dengan pemanis buatan? Apakah cocok untuk penderita diabetes yang ingin menurunkan berat badan? "Faktanya, pemanis buatan, ketika dikonsumsi, diproses secara berbeda oleh tubuh dibandingkan dengan gula biasa, dan ini dapat memengaruhi rasa yang sudah dikenali tubuh," kata Mary-ann.
"Hal ini bisa mengakibatkan kebingungan di otak dan menghasilnya sinyal-sinyal yang merangsang keinginan untuk makan lebih banyak, terutama makanan manis. Pemanis buatan juga dapat mengubah komposisi bakteri usus, yang perannya penting dalam manajemen berat badan. Oleh karena itu, bagi penderita diabetes yang ingin mengelola berat badan atau asupan gula, perlu dicatat bahwa pemanis buatan mungkin bukan pengganti yang cocok," jelas Mary-ann.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris di sini.