Kasus COVID-19 melonjak di Asia Tenggara: Tidak perlu lockdown, tapi masyarakat harus jaga kebersihan diri
Para ahli kesehatan di Asia Tenggara mengimbau masyarakat tetap menerapkan kebiasaan sehat ketika pandemi untuk mencegah penyebaran COVID-19.

SINGAPORE/KUALA LUMPUR: Lonjakan kasus COVID-19 mendorong pihak-pihak berwenang di Asia Tenggara meningkatkan berbagai langkah untuk membatasi penyebaran penyakit tersebut, seperti memasang kembali pemindai panas tubuh di pintu masuk perjalanan internasional dan mengimbau masyarakat memakai masker.
Kendati demikian, para ahli kesehatan kepada CNA mengatakan bahwa pembatasan era-pandemi seperti lockdown tidak perlu diterapkan lagi karena sistem kesehatan sudah siap menghadapi peningkatan kasus ini.
Di Malaysia, menteri kesehatan yang baru, dr. Dzulkefly Ahmad, pada Kamis (14 Des) mengatakan pemerintah mungkin akan mengumumkan arahan tambahan untuk menanggulangi peningkatan kasus COVID-19, termasuk suntikan booster terkhusus bagi mereka yang rentan komplikasi jika tertular.
Sehari sebelumnya, direktur jenderal kesehatan Malaysia dr. Muhammad Radzzi Abu Hassan mengimbau masyarakat untuk mengenakan masker ketika berkumpul dengan kawan dan keluarga. Imbauan ini disampaikan menyusul peningkatan kasus COVID-19 hingga hampir dua kali lipat di Malaysia menjadi 12.757 pada pekan 3-9 Desember dibandingkan sepekan sebelumnya.
Sementara Kementerian Kesehatan Indonesia mengimbau masyarakat untuk melengkapi vaksin COVID-19 dan memakai masker ketika di luar ruangan.
Per Selasa pekan lalu, Indonesia mencatatkan total 6.223 kasus COVID-19 aktif, dengan peningkatan 298 kasus dari sepekan sebelumnya.
Dalam surat edarannya, Kemenkes Indonesia menyerukan jajarannya untuk secara aktif memonitor kasus-kasus baru dan memastikan ketersediaan vaksin di puskesmas seluruh Indonesia.
Pemindai panas tubuh juga telah dipasang kembali di beberapa pintu masuk penumpang internasional, termasuk di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Bandara Internasional Ngurah Rai di Bali dan Pelabuhan Internasional Batam.
Di Thailand, jumlah rawat inap dua pekan lalu akibat COVID-19 mencapai angka tertinggi sejak Juli yaitu 590 kasus. Di pekan yang sama, dilaporkan ada total lima kematian karena COVID-19 di Thailand, seperti yang diberitakan Bangkok Post.
Para ahli kesehatan yang berbicara kepada CNA memang mengatakan COVID-19 saat ini bisa dikelola lebih baik, namun mereka mewanti-wanti para lansia dan kelompok rentan lainnya untuk tetap waspada.
PERLUNYA TANGGUNG JAWAB PRIBADI
Seruan dari berbagai pihak bermunculan agar pemerintah menerapkan kembali pembatasan seperti saat puncak pandemi. Namun para ahli kepada CNA meyakini pembatasan era-pandemi tidak perlu dilakukan.
Namun mereka menekankan bahwa masyarakat harus juga berperan demi keselamatan diri sendiri, seperti melengkapi vaksin atau mengenakan masker ketika berada di keramaian.
Pada Jumat pekan lalu, mantan menteri kesehatan Malaysia Khairy Jamaluddin dan mantan wakil menteri perdagangan internasional dan industri Malaysia Ong Kian Ming dalam pernyataannya mengatakan bahwa sudah saatnya pemerintah Malaysia menerapkan kembali Test, Report, Isolate, Inform, Seek (TRIIS - Pengujian, Pelaporan, Isolasi, Pelaporan, Pencarian) agar masyarakat siap menghadapi kemungkinan gelombang baru infeksi COVID-19.
Selain itu, mereka juga menyerukan kementerian kesehatan mengaktifkan kembali program vaksinasi melalui fasilitas kesehatan publik maupun swasta, penggunaan aplikasi mobile MySejahtera juga harus dimulai kembali untuk memantau pasien COVID-19.
MySejahtera adalah aplikasi yang dikembangkan pemerintah Malayia untuk membantu mengelola pandemi COVID-19 di negara tersebut.
Menurut Profesor Ahli Epidemiologi Moy Foong Ming dari Departemen Pengobatan Masyarakat dan Pencegahan di Universiti Malaya, peraturan era-pandemi tidak diperlukan lagi karena kebanyakan warga Malaysia sudah mendapatkan vaksin COVID-19 setidaknya dua kali.
"Ada semacam kekebalan di masyarakat, dan varian Omicron yang ada saat ini hanya menyebabkan gejala ringan. Jika ada varian baru yang menyebabkan gejala serius, mungkin kita bisa (mempertimbangkan pembatasan), tapi untuk saat ini tidak perlu panik," kata dia kepada CNA.
Namun Prof Moy mengimbau adanya tanggung jawab pribadi, sementara lansia serta mereka dengan imunitas tubuh rendah untuk mengenakan masker dan mendapatkan vaksin booster.
"Jika mereka yang terinfeksi, gejalanya mungkin parah. Sementara untuk orang dewasa yang sehat, saya kira terserah mereka untuk mengenakan masker, jangan dipaksa," kata dia, seraya menambahkan bahwa ada beberapa orang yang sudah mengenakan masker atas kesadaran sendiri.
Prof Moy menambahkan, lonjakan kasus kali ini tidak akan menjadi satu-satunya. Di masa mendatang, kata dia, masih akan ada peristiwa serupa, terutama dengan meningkatnya mobilisasi warga selama periode liburan akhir tahun.
"Ketika penyakit disebut sebagai endemi, maka virusnya masih ada di sekitar kita dan hidup berdampingan dengan kita," kata dia.
Hal senada disampaikan Lektor Kepala di Universiti Putra Malaysia, ahli epidemiologi dr. Malina Osman kepada CNA. Dia mengatakan, tanggung jawab pribadi yang mendasar harus diterapkan setiap kali ada risiko penularan penyakit.
"Langkah-langkah ini harus dilakukan secara orang per orang karena situasinya saat ini masih terkendali, tidak ada indikasi perlunya penegakan hukum," kata dia.
Dalam pernyataannya pada 14 Desember, presiden Malaysian Medical Association (MMA) dr. Azizan Abdul Aziz mengatakan pentingnya melakukan tes-mandiri ketika mengalami gejala seperti flu, dan segera mengisolasi diri jika ternyata positif COVID-19.
"Karena kebanyakan kasus COVID-19 saat ini bergejala ringan, besar kemungkinannya banyak yang tidak melakukan tes COVID-19 mandiri ketika mengalami gejala seperti flu. Ini mengkhawatirkan, karena tanpa tes-mandiri, karantina yang seharusnya diperlukan juga tidak dilakukan," kata dia.
Dr. Azizan menambahkan: "Meski COVID-19 terkendali dengan baik di negara ini sekarang dan tidak ada lagi ancaman bagi kebanyakan masyarakat, tapi virus ini masih mengancam nyawa bagi lansia dan mereka dengan komorbid".
Dia juga mengatakan bahwa mereka yang berisiko tinggi tertular juga disarankan melakukan vaksin booster sesuai jadwal yang direkomendasikan serta memakai masker ketika di dekat orang lain, di keramaian dan di tempat publik dengan ventilasi yang buruk.
"Cuci tangan dengan air dan sabun atau hand sanitizer adalah kebiasaan baik yang dipelajari selama pandemi dan harus terus dilakukan semua orang," kata dia.
Secara terpisah, presiden lembaga Malaysian Pharmacists Society (Masyarakat Apoteker Malaysia), Amrahi Buang, kepada CNA mengatakan saat ini tidak ada peningkatan permintaan masker dan alat tes COVID-19.
"Kami belum mendengar keluhan soal ketersediaan stok. Kami tidak ingin melihat adanya panic buying. Sejauh ini, kami mampu memenuhi permintaan. Belilah sesuai dengan kebutuhan Anda dan jangan membeli secara berlebihan," kata dia.
Amrahi mencatat bahwa selama tahap endemi, jumlah kasus sudah diperkirakan akan naik-turun. Dia memberikan saran yang sederhana - lakukan apa yang biasa dilakukan ketika pandemi.
"Jika Anda merasa tidak enak badan, lakukan tes-mandiri. Jika Anda positif, lapor ke aplikasi MySejahtera dan minta ditindaklanjuti. Saya menduga tidak banyak yang melakukannya, jadi angkanya bisa jadi lebih banyak," kata dia.
Sementara di Indonesia, masyarakatnya telah diimbau untuk melengkapi vaksin COVID-19 mereka menjelang liburan Natal dan Tahun Baru.
"Kami sangat mengimbau masyarakat untuk segera melengkapi vaksin COVID-19, baik dosis primer dan booster sesuai dengan ketentuan," ucap juru bicara kementerian kesehatan Indonesia dr. Siti Nadia Tarmizi seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Dinas kesehatan di ibu kota Jakarta juga mengimbau masyarakat untuk melakukan langkah pencegahan seperti mengenakan masker.
Menurut dr. Pandu Riono, ahli epidemiologi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, tidak perlu menerapkan kembali langkah-langkah pembatasan seperti masa pandemi, misalnya lockdown.
"Edukasi saja masyarakat tentang cara menjaga kesehatan dan menggunakan masker jika mereka sakit atau pergi ke tempat umum. Prioritaskan juga vaksinasi tambahan untuk masyarakat lanjut usia dan mereka dengan komorbid," kata dia kepada CNA.
Di tengah kekhawatiran munculnya gelombang baru COVID-19, masyarakat Indonesia menunjukkan keresahan mereka di media sosial.
"yaAllah semoga cepet teratasi, gak mau kyk kmrn². Trauma berat," tulis seorang pengguna media sosial X.
"Covid melanda Indo lagi bukan sih?? sumpah gue takut apa gue kena ya," kata pengguna X lainnya.
Kekhawatiran akan kurangnya vaksin juga disampaikan netizen Indonesia lainnya, yang menyadari bahwa prioritas penerima vaksin adalah mereka yang telah mendapat dosis vaksin wajib dan suntikan booster pertama.
"Semoga kali ini stoknya cukup," kata pengguna tersebut.
Para netizen di Reddit juga mengatakan gejala COVID-19 kali ini tidak separah sebelumnya. Seorang pengguna menyebut gelombang COVID-19 saat ini lebih seperti "musim flu ketimbang epidemi".
"COVID-19 saat ini berisiko rendah dan berdampak rendah, tidak ada alasan untuk mengorbankan ekonomi (melalui lockdown)," kata salah satu pengguna.
Sementara itu, seorang ahli saat mengomentari kenaikan jumlah penderita COVID-19 di Thailand memastikan bahwa virus tersebut saat ini tidak terlalu berisiko terhadap kesehatan.
Dr. Manoon Leechawengwongs, dokter spesialis paru di Rumah Sakit Vichaiyut, mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu terlalu khawatir karena virus COVID-19 saat ini telah bermutasi sedemikian rupa sehingga tidak terlalu berisiko bagi kesehatan, bahkan bagi mereka yang belum divaksinasi.
"COVID-19 tidak terlalu mengkhawatirkan seperti sebelumnya," kata dia seperti diberitakan Bangkok Post.
SISTEM KESEHATAN SIAP MENANGANI LONJAKAN KASUS COVID-19
Kepada CNA, para ahli juga mengatakan bahwa sistem kesehatan saat ini sudah siap menghadapi lonjakan COVID-19, terutama karena gelombang kasus sekarang tergolong ringan dan kapasitas fasilitas kesehatan telah ditambah ketika masa pandemi.
Prof Moy dari University Malaya meyakini bahwa sistem kesehatan Malaysia akan mampu menangani peningkatan kasus kali ini, lantaran sebagian besar infeksinya bergejala ringan.
Sementara dr Malina dari Universiti Putra Malaysia juga percaya bahwa kementerian kesehatan Malaysia telah siap dengan semua langkah yang diperlukan untuk menghadapi segala kemungkinan.
Di Indonesia, dr. Pandu mengatakan infrastruktur kesehatan Indonesia sudah siap menghadapi peningkatan kasus. Menurutnya, pemerintah Indonesia telah meningkatkan kapasitas kesehatan selama dan setelah pandemi COVID-19.
Indonesia secara resmi telah mencabut status pandemi pada 21 Juni tahun ini. Presiden Indonesia Joko Widodo yang ketika itu dikutip media mengatakan bahwa Indonesia mencatat "hampir nol" kasus baru COVID-19 dan bergerak menuju fase endemik.
Dicky Budiman, ahli epidemiologi dari Griffith University, Australia, memperingatkan bahwa meski sistem kesehatan Indonesia saat ini mampu menangani peningkatan kasus COVID-19, namun kondisinya akan berbeda jika terjadi wabah lainnya di waktu bersamaan.
"Jika terjadi wabah lain (seperti pnuemonia atau influenza) di saat bersamaan, sistem kesehatan Indonesia akan mengalami masalah dan bisa ambruk," kata dia.
Dicky menambahkan: "Sejauh ini, pemerintah dapat menangani wabah (COVID-19) dan mereka memiliki kapasitas untuk meresponsnya, tapi saya sarankan pemerintah melakukan beberapa persiapan dan langkah mitigasi jika terjadi peningkatan jumlah pasien akibat wabah lainnya."
PERLUNYA KESEIMBANGAN
Dr. Dicky mengatakan pemerintah negara-negara Asia Tenggara harus menyeimbangkan antara respons COVID-19 dengan meningkatkan atau menjaga kondisi sosial dan ekonomi saat ini sembari juga menghindari risiko penyebaran penyakit infeksi pernapasan.
"Dampak tiga tahun pandemi terhadap ekonomi dan kemasyarakatan sangat jelas, (pandemi menyebabkan) dampak merugikan di banyak aspek kehidupan masyarakat," kata dr. Dicky.
Dia menyarankan agar pemerintah di Asia Tenggara memperkuat kolaborasi untuk menghindari munculnya banyak masalah.
"Jika salah satu negara (tetangga) tidak mampu atau tidak bisa mengadakan program vaksinasi, maka akan muncul masalah bagi negara-negara lainnya karena akan terjadi penyebaran virus," kata dia kepada CNA.
Secara terpisah, presiden International Society for Infectious Diseases, Paul Tambyah, mengatakan bahwa "respons paling penting" pada lonjakan kasus kali ini adalah "tidak bereaksi terlalu berlebihan" dan menangani COVID-19 layaknya penyakit pernapasan lainnya.
"Kasus-kasus yang parah tentu saja perlu ditangani dengan tepat dan kasus-kasus yang ringan perlu 'didudukkan dengan tepat' dan dirawat oleh dokter umum dan klinik perawatan primer lainnya.
"Dengan begitu, sistem kesehatan tidak perlu terbebani oleh orang-orang yang tidak perlu berada di rumah sakit selain isolasi," kata dia.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.