'Kenapa harus bangun satu lagi?': Indonesia genjot transisi energi bersih, tapi PLTU batu bara masih terus dibangun
Indonesia ingin memensiunkan dini beberapa pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, tapi masih terus membangun fasilitas yang baru sampai 2030. Dapatkah Indonesia menemukan solusi masalah karbon dan memasok energi ramah lingkungan tepat waktu?

CIREBON, Indonesia: Selama lebih dari satu dekade, hasil tangkapan kerang, udang dan ikan para nelayan di desa Kanci, pinggiran kota industri Cirebon, mengalami penurunan. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, mereka menemukan adanya peningkatan penyakit pernapasan, terutama di kalangan anak-anak dan lansia.
Warga menduga, penyebabnya adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 660 megawatt berbahan bakar batu bara yang berada di dekat permukiman mereka. Sejak fasilitas itu beroperasi pada 2012, cerobongnya yang menjulang tinggi tidak henti mengeluarkan asap, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
"PLTU itu membunuh kami pelan-pelan," kata Sarjum, warga Kanci, kepada CNA.
Pria 44 tahun ini mengaku terpaksa meninggalkan profesi sebagai nelayan dua tahun setelah PLTU itu beroperasi. Laut, menurutnya, sudah terlalu tercemar akibat limbah dari PLTU, ditambah lagi dengan bocoran cairan batu bara dari tongkang pengangkutnya yang berlabuh di dermaga pembangkit.
Sarjum kini bekerja sebagai tukang las di sebuah bengkel besi. Nelayan-nelayan lain di desanya juga sudah mencari pekerjaan di tempat lain.

Operator PLTU membantah tuduhan tersebut, mengatakan bahwa mereka telah menerapkan langkah-langkah keamanan lingkungan yang ketat.
Namun dari pencitraan satelit yang diambil pada 2022, peneliti menemukan adanya konsentrasi polutan termasuk nitrogen dioksida dan partikel-partikel kecil polusi di sekitar PLTU yang dioperasikan oleh PT Cirebon Electric Power tersebut.
September tahun lalu, pemerintah Indonesia telah mengumumkan bahwa pembangkit Cirebon 1 itu menjadi satu dari dua fasilitas yang akan dipensiunkan pada 2037. PLTU lainnya yang akan dipensiunkan terletak 225 km jauhnya di Pelabuhan Ratu.

Indonesia menggembar-gemborkan rencana pensiun dini kedua pembangkit itu sebagai bukti dari komitmen negara dalam mengurangi emisi karbon. Rencana ini juga terpampang dalam dokumen yang mereka ajukan untuk mendapat dana US$20 miliar dari beberapa negara untuk upaya dekarbonisasi Indonesia.
Dokumen Perencanaan dan Kebijakan Investasi Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan - CIPP) untuk Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership - JETP) itu secara resmi dirilis pada 21 November dan menjabarkan ambisi Indonesia menjadi negara emisi nol-bersih atau net-zero emission pada 2060. Dengan menjadi negara emisi nol-bersih, berarti Indonesia harus mampu menyerap kembali emisi yang mereka keluarkan.
PEMBANGUNAN PLTU BARU MEMANTIK KERAGUAN
Seharusnya rencana pensiun dini PLTU Cirebon 1 menjadi kabar baik bagi warga di lingkungan sekitar. Namun nyatanya, PLTU berbahan bakar batu bara yang lebih besar, Cirebon-2 yang berkapasitas 1.000 megawatt listrik, sudah mulai dioperasikan secara komersial pada Mei tahun ini.
Situasi ini, kata para pengamat, memantik keraguan apakah Indonesia sebagai negara produsen batu bara terbesar kelima dunia mampu memenuhi komitmen emisi nol-bersih pada 2060.
Mereka juga mengatakan bahwa Indonesia tidak akan dapat memenuhi target tersebut tanpa memensiunkan seluruh 234 pembangkit listrik berbahan bakar batu bara mereka, dan menghentikan pembangunan 14 pembangkit lainnya dengan kapasitas total 19,8 gigawatt.

Sektor energi Indonesia memproduksi sekitar 600 juta ton karbon dioksida pada 2011, menjadikannya negara penghasil emisi terbesar kesembilan dunia, berdasarkan data Badan Energi Internasional (IEA). Menurut dokumen JETP, batu bara sebagai bahan bakar fosil paling kotor telah menghasilkan 52 persen listrik di Indonesia.
Para pengamat sepakat jika transisi menuju energi bersih bukan perkara mudah dan memerlukan biaya yang besar.
Kondisi ini membuat Indonesia berada pada posisi yang sulit, antara menyeimbangkan dekarbonisasi pembangkit dan menjaga tarif listrik tetap terjangkau di negara berpopulasi terbesar keempat dunia ini, yang menurut catatan Bank Dunia, 6,9 juta orang di antaranya berpenghasilan kurang dari US$2 per hari.
Baca:
Sebagai bagian dari rencana menjadi negara netral karbon, Indonesia akan menggunakan lebih banyak lagi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan memanfaatkan turbin angin untuk menghasilkan listrik. Harapannya, langkah ini mampu mengurangi penggunaan batu bara hingga nol pada 2050.
Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk meningkatkan produksi PLTS dari 0,1 gigawatt pada 2022 menjadi 29,3 gigawatt pada 2030.
Termasuk dalam rencana ini adalah membangun PLTS terapung di waduk Cirata, 115 km dari ibukota Jakarta. PLTS terbesar di Asia Tenggara yang mampu menghasilkan listrik untuk 50.000 rumah ini mulai beroperasi pada 9 November lalu.

Erick Thohir, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Ad Interim mengatakan PLTS saat ini hanya melingkupi 5 persen dari permukaan waduk Cirata dan ada rencana meningkatkan kapasitasnya hingga empat kali lipat.
"Indonesia melakukan banyak investasi infrastruktur untuk memerangi polusi udara. Kami akan terus mendorong energi bersih sebagai bagian dari solusi jangka pendek, menengah dan panjang," kata Erick dalam peluncuran dokumen JETP.
PLTS, baik yang terapung atau tidak, tengah dibangun di seantero negeri, termasuk yang berkapasitas 1.000 megawatt di Pulau Bengkalis di Selat Malaka, Sumatra.

PEMBATASAN HARGA BATU BARA "HAMBAT TRANSISI ENERGI"
Di waktu yang sama, Indonesia berencana untuk tetap membangun PLTU batu bara sampai 2030 ketika moratorium diberlakukan. Setelah masa itu, indonesia akan menutup PLTU batu bara atau mengkonversinya menjadi berbahan bakar gas atau biomassa seperti kayu atau limbah pertanian.
Para pejabat di Jakarta berpendapat bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia masih perlu PLTU batu bara untuk menjaga tarif listrik tetap terjangkau dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Leonard Simanjuntak, direktur kampanye lingkungan Greenpeace untuk wilayah Indonesia, tidak sepakat. Dia mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu lagi membangun pembangkit baru, terutama di pulau Jawa yang paling berkembang, tempat beberapa PLTU baru termasuk Cirebon-2 berada.
"Kita sudah ada surplus listrik di Jawa. PLTU-PLTU yang sedang dibangun harus dibatalkan," kata dia kepada CNA.

Indonesia harus fokus pada energi terbarukan untuk pemenuhan kebutuhan listrik di masa depan, ujar Putra Adhiguna, pengamat dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), sebuah lembaga peneliti dari AS.
"Kita memiliki sistem kelistrikan yang terlampau memiliki banyak PLTU, sehingga ada kapasitas berlebih. Kapasitas berlebih ini menjadikan sebuah disinsentif bagi pemilik sistem kelistrikan, yaitu PLN, untuk menambah kapasitas baru,"" kata dia, merujuk para Perusahaan Listrik Negara.
Faktor lain "yang menghambat upaya transisi energi Indonesia", lanjut Putra, adalah pembatasan harga jual dan beli batu bara (price cap).
Kementerian energi dan sumber daya mineral Indonesia mematok harga batu bara untuk produksi listrik di angka US$70 per ton, tergantung dari kualitasnya. PLN memperkirakan, tahun ini Indonesia akan membutuhkan 161 juta ton batu bara untuk menghidupi seluruh pembangkit listrik.
Pembatasan harga ini membuat energi terbarukan sulit untuk berkompetisi. Di beberapa negara, biaya rata-rata listrik tenaga surya untuk siklus 25 hingga 30 tahun lebih murah dari yang ditenagai bahan bakar fosil. Tapi di Indonesia hal ini belum terwujud karena adanya penetapan batas harga tertinggi untuk batu bara.
Menurut lembaga peneliti yang berbasis di Jakarta, Institute for Essential Services Reform (IESR), biaya rata-rata listrik tenaga surya adalah 5,79 sen dolar AS per kilowatt jam (kWh). Sementara batu bara 5,68 sen dolar AS, menjadikannya sebagai sumber energi paling murah di Indonesia.

Namun, harga itu tidak termasuk dampak terhadap lingkungan yang buruk dari PLTU batu bara. Untuk setiap megawatt jam energi yang dihasilkan, PLTU melepaskan 700 hingga 900 ton karbondioksida ke atmosfer. Ini juga terjadi di fasilitas pembangkit yang menggunakan teknologi terbaru yang membakar batu bara dengan tingkat suhu dan tekanan yang sangat tinggi.
Sebaliknya, pembangkit tenaga surya hanya melepaskan sekitar 50kg karbon dioksida per megawatt jam, yang kebanyakan dihasilkan dari pertambangan bahan-bahan baku panel tenaga surya dan proses produksinya.
"Inilah mengapa penting untuk memensiunkan beberapa PLTU batu bara," kata Putra dari IEEFA.
DUA PLTU SUKARELA PENSIUN DINI
Pendanaan untuk dekarbonisasi adalah satu lagi hal yang tidak pasti. Indonesia berharap sembilan negara yang berkomitmen meminjamkan dana US$20 juta di bawah program JETP — terdiri dari negara Group of Seven (G7) plus Denmark dan Norwegia — dapat membantu mempercepat pemensiunan beberapa PLTU batu bara.
Dana tersebut dibutuhkan untuk kompensasi kepada para pemegang saham swasta dari PLTU dan restrukturisasi utang dari pemerintah dan pemberi pinjaman asing.
Para pejabat di Jakarta sejauh ini telah mengindentifikasi 33 pembangkit listrik yang akan dipensiunkan lebih cepat dari siklus pemakaian seharusnya, jika pendanaan dari negara-negara donor JETP telah diperoleh.

Sebagai bentuk itikad baik, kementerian keuangan Indonesia sepakat untuk mendanai biaya pensiun dini dua PLTU di Cirebon dan Pelabuhan Ratu di bawah skema Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism - ETM).
Kedua PLTU itu dipilih karena operatornya mengajukan diri secara sukarela, bukan karena mereka penghasil emisi terbesar.
Seharusnya Indonesia mengadopsi pendekatan berbeda dan memprioritaskan PLTU yang lebih tua, karena fasilitas pembangkit baru akan lebih mahal untuk pendanaan kembali, kata Farah Vianda, koordinator pendanaan berkelanjutan di IESR. "Perlu diingat ... JETP adalah pinjaman yang harus dikembalikan. Jadi kita harus merencanakannya (pemensiunan) dengan hati-hati," kata dia.
Operator PLTU Cirebon 1 mengaku bergabung dengan skema ETM karena para pemilik sahamnya berkomitmen dalam mencapai emisi nol-bersih. "Komitmennya beragam, ada (pemilik saham) yang berkomitmen 2050, ada yang sebelumnya, ada yang lebih (lama). Tapi semuanya punya komitmen ke sana," kata Joseph Pangalila, wakil presiden PT Cirebon Electric Power.

Pensiun dini "bukan karena emisi kami tinggi", kata dia.
Emisi PLTU Cirebon 1 adalah "sepertiga dari standar nasional" dan fasilitas ini memiliki "standar lingkungan yang ketat", kata dia. Sementara PLTU Cirebon 2, lanjut Joseph, berintensitas emisi rendah dan ditenderkan pada 2014, beberapa tahun sebelum Indonesia mengumumkan ambisi emisi nol-bersih.
"Jika Anda mendatangi fasilitas kami, tidak ada setitik debu pun."
Joseph mengatakan bahwa pemerintah masih dalam perundingan dengan investor Jepang, Korea dan Indonesia serta pemberi pinjaman lainnya soal besaran kompensasi yang harus dibayarkan karena karena PLTU akan ditutup delapan tahun lebih cepat.
"Besaran (pendanaan kembali) mungkin sekitar US$250 hingga US$300 juta," kata dia.
SEKALIGUS ATAU BERTAHAP? TERGANTUNG DANANYA
Presiden direktur PLN Darmawan Prasodjo mengatakan dalam rapat dengar pendapat dengan DPR pada 15 November lalu bahwa Indonesia belum mendapatkan pendanaan internasional, sehingga kemungkinan mereka akan melakukan konversi bahan bakar untuk pembangkit listrik, bukan dengan memensiunkan semuanya lebih cepat.
"(PLN dan pemerintah) sepakat bahwa ini tidak akan coal phaseout (penghentian total) tapi coal phasedown (penghentian bertahap)," kata dia kepada anggota DPR.
Tanpa pendanaan internasional, PLTU baru bara boleh beroperasi sampai kontrak dengan PLN berakhir, yaitu paling lambat tahun 2050.

Setelah 2050, kata Darmawan, PLTU yang masih layak beroperasi akan diwajibkan menggunakan sumber energi yang tidak terlalu polutif seperti gas alam, biomassa atau hidrogen hijau - hidrogen yang diciptakan dengan memisah air menjadi hidrogen dan oksigen menggunakan listrik terbarukan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan Indonesia tengah mempersiapkan undang-undang untuk energi terbarukan yang akan mewajibkan konversi. "Undang-undang ini membuat assurance (jaminan) mengenai kebijakan EBT (energi baru dan terbarukan) sebagai prioritas," kata dia dalam peluncuran dokumen JETP 21 November lalu.
LEBIH BANYAK INSENTIF, PERLU PAJAK KARBON?
Para pengamat mengatakan Indonesia harus membuat kebijakan untuk memberi insentif agar PLTU secara sukarela mengikuti program pensiun dini.
Pemerintah bisa menghapuskan batasan harga batu bara, penyebab utama mengapa harga rata-rata energi terbarukan saat ini lebih mahal ketimbang batu bara.

Cara lainnya adalah menerapkan pajak karbon, sesuatu yang telah direncanakan di Indonesia selama bertahun-tahun. Indonesa seharusnya menerapkan pajak karbon tahun lalu, namun implementasinya ditunda hingga 2025 dengan alasan masih butuh waktu untuk memastikan skema pajak ini tidak berbenturan dengan peraturan dan regulasi yang sudah ada.
"Tanpa pajak karbon, tidak ada tekanan bagi perusahaan untuk melakukan upaya mengurangi emisi mereka," kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif lembaga peneliti Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) yang berkantor di Jakarta.
Di bawah skema itu, emisi pembangkit listrik dibatasi di angka 900 hingga 1.000 ton karbon dioksida per megawatt jam, tergantung besaran fasilitasnya.
Perusahaan harus membayar 30.000 rupiah untuk setiap ton yang melampaui batasan tersebut. Nilainya lebih rendah dibanding US$8,15 per ton yang harus dibayar di Afrika Selatan atau US$55 per ton di Swedia.

Namun PLTU yang melampaui batasan emisi bisa juga membeli kredit karbon dari PLTU lain yang tidak menggunakan alokasi kuota mereka, dalam sebuah proses yang dikenal sebagai perdagangan karbon.
Indonesia meluncurkan pasar perdagangan karbon pertama pada September lalu.
Namun perdagangan karbon bukanlah solusi krisis iklim, kata Leonard dari Greenpeace. "Semua harus bekerja sama untuk menurunkan emisi mereka, (bukannya) memperdagangkan alokasi kuota agar bisnis yang kurang ramah lingkungan bisa melepaskan polusi lebih banyak dari seharusnya," kata dia.
Pengamat juga mengkritisi kelonggaran yang diberikan kepada industri-industri yang seharusnya ikut mewujudkan upaya emisi nol-bersih Indonesia.
Misalnya, batasan yang diajukan untuk pembangkit listrik off-grid, yang menghasilkan listrik untuk wilayah terbatas seperti pertambangan, kilang dan pabrik, dipatok di 1.900 ton karbon dioksida per megawatt jam.
Selain itu, proposal investasi JETP tidak mencakup upaya dekarbonisasi ratusan pembangkit listrik tenaga bahan bakar batu bara tingkat industri ini.
Artinya negara bisa kehilangan peluang ekonomi yang potensial. "Contohnya adalah, ketika misalnya di Amerika Serikat ada Inflation Reduction Act, ternyata nikel Indonesia sulit masuk ke rantai pasok di AS, terutama untuk kendaraan listrik, karena dianggap tata kelola lingkungannya (buruk), nikelnya juga masih menggunakan PLTU batu bara untuk proses," kata Bhima.

"Jadi pilihannya ada pada Indonesia. Kalau targetnya (transisi energinya) tidak terlalu ambisius, maka akan mengganggu pertumbuhan ekonomi (Indonesia) dalam jangka yang sangat panjang."
Sementara itu, warga Kanci meragukan janji dekarbonisasi Indonesia.
Mereka telah memprotes keberadaan PLTU batu bara Cirebon 1 sejak pembangunannya dimulai pada 2007. Tapi sekarang malah akan ada PLTU kedua yang lebih besar di sekitar mereka.
"Jika (pemerintah) benar-benar serius memensiunkan pembangkit listrik, kenapa harus membangun satu lagi? Keduanya harus pensiun. Jika tidak, ini cuma akal-akalan saja," kata Sarjum.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.