Ketika para netizen Asia Tenggara bergabung merundung tentara Israel di media sosial
Tindakan ini membuat para netizen merasa memiliki tujuan dan ikut andil dalam "melakukan tindakan" terhadap Israel. Namun pengamat mengatakan, ada cara lain yang lebih efektif.

SINGAPURA: Para netizen dari beberapa negara Asia Tenggara melakukan serangan siber terhadap warga-warga Israel dan mengkritik negara-negara yang dianggap lemah dalam merespons perang Israel-Hamas yang sudah berlangsung hampir dua bulan.
Para netizen dari Indonesia dan Malaysia menyerang dan merundung para tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dengan mengirimkan spam berupa panggilan telepon, komentar, dan pesan ke media sosial mereka. Tujuannya, untuk melemahkan moral mereka.
Sementara itu di Singapura, karena peraturan setempat melarang aksi protes perang Israel-Hamas dengan turun ke jalan, akhirnya warganya membawa perdebatan mengenai konflik tersebut ke dunia maya.
Kepolisian Singapura pada 18 Oktober lalu menyatakan kegiatan atau perkumpulan publik terkait konflik Israel-Hamas tidak akan mendapatkan izin dengan alasan menjaga keselamatan dan keamanan publik, mengingat kondisi yang sedang tegang.
Beberapa netizen di Asia Tenggara - diketahui dari bahasa yang digunakan atau nama negara di akun sosial media mereka - mengkritik keputusan yang diambil pemerintah Singapura. Sementara netizen lainnya mempermasalahkan beberapa kelompok di Singapura yang bersikap apatis terhadap konflik tersebut.
Menurut pengamat, gerakan dan tindakan di dunia maya membuat para netizen yang berada jauh dari medan perang merasa memiliki tujuan dan punya cara "untuk andil melakukan tindakan". Namun pengamat juga mengatakan, ada cara lain yang lebih efektif.
INDONESIA DAN MALAYSIA: AKTIVISME DARING DAN SERANGAN DISINFORMASI
Dalam peperangan online melawan Israel, sebuah gerakan dari Indonesia bernama #JulidFiSabilillah telah melakukan doxxing dan perundungan daring terhadap anggota IDF dan kelompok-kelompok yang dianggap zionis - sebuah gerakan yang mendukung berdirinya negara Yahudi.
Julid Fi Sabilillah bisa diartikan mengkritik orang lain di jalan Allah. Nama itu adalah pelesetan dari "jihad fi sabilillah", yang artinya berperang di jalan Allah. Dalam bahasa gaul Indonesia, julid berarti bergosip atau membicarakan hal buruk tentang orang lain.
Mengutip media setempat, akun media sosial dan nomor WhatsApp tentara Israel disebarkan secara online. Kemudian para netizen Indonesia, bahkan Malaysia, mengirimkan spam ke akun-akun tersebut dengan komentar, pesan dan panggilan telepon.
Beberapa tentara Israel sampai menutup kolom komentar mereka di Instagram, beberapa lainnya bahkan kehilangan akun mereka.
Seorang warga Indonesia, Erlangga Greschinov, memulai gerakan ini ketika dia pertama kali membagikan akun-akun tentara IDF di akun media sosialnya pada 16 November lalu.
Kepada CNA melalui sambungan telepon, Erlangga mengaku perlu mengambil tindakan setelah tentara-tentara Israel mengunggah kegembiraan mereka di Gaza.
"Mereka menari di atas reruntuhan kota Gaza ... dan saya (mulai bertanya): 'Mengapa orang-orang ini tidak menyesali kehancuran (yang mereka buat)?"
"Itulah alasan mengapa saya memposting di Twitter dan bertanya 'Bagaimana kalau kita lawan tentara-tentara ini?", dan banyak orang (yang memutuskan bergabung dengan saya)," kata Erlangga.
Erlangga melanjutkan, gerakan yang dilakukannya bertujuan untuk menyerang narasi negatif oleh media dan tentara Israel terhadap warga Palestina.
"Ketika kami melakukan troll, kami ingin membuat pernyataan persuasif soal bagaimana memperlakukan warga Palestina ... dan bagaimana menghadapi propaganda Israel," kata Erlangga.
Dia menambahkan bahwa gerakannya memiliki beberapa strategi, di antaranya mendapatkan kepercayaan dari tentara Israel demi mendapatkan informasi pribadi mereka, serta menciptakan perselisihan di antara orang Israel dengan menyebarkan disinformasi.
Erlangga menyadari ada beberapa netizen Malaysia yang bergabung dalam gerakan mereka. Tapi untuk saat ini, dia fokus pada memobilisasi dan mengkoordinir para netizen Indonesia.
"Saya tidak bisa bahasa Melayu dan seluruh pengumuman saya dalam Bahasa Indonesia ... Akan memakan waktu (untuk menerjemahkan) tapi ... jika ada orang dari negara lain ingin bergabung, kami menyambut mereka," kata dia.
Ketika ditanya apakah dia khawatir akan adanya gugatan hukum terhadap dirinya, Erlangga mengatakan bahwa Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik.
"Orang Israel yang merasa terancam oleh gerakan kami bisa datang dan mengajukan gugatan hukum di sini. Kami sambut mereka," kata dia.
Dr Joanne Lim, profesor ilmu komunikasi, media dan budaya di University of Nottingham, Malaysia, mengatakan gerakan tersebut adalah contoh dari "rasa tanggung jawab yang saling terhubung", yaitu saat netizen merasa punya tanggung jawab sosial yang tinggi untuk menyerukan penghentian kekerasan di Gaza.
"Orang di seluruh dunia merasa hanya menjadi penonton dan pengamat dari konflik ini.
"Dengan menggunakan media sosial, para netizen merasa memiliki tujuan, perasaan memiliki, sebuah cara untuk 'melakukan tindakan' ketimbang menyerah pada ketidakberdayaan, yang pada akhirnya memicu keputusasaan," kata Dr Lim kepada CNA.
Dia menambahkan, melakukan doxxing atau pengungkapan informasi pribadi para tentara Israel dan zionis bisa dilihat sebagai langkah putus asa yang didorong keinginan untuk menyuarakan pendapat atau opini.
Namun, Lim mengatakan ada bentuk aktivisme lain yang lebih efektif.
"Daripada turut melakukan kehjahatan dan menjadi agen penyebar rumor dan disinformasi, bentuk aktivisme yang lebih efektif adalah menyerukan aksi ... untuk membantu meringankan penderitaan akibat pembantaian dan kejahatan perang terhadap kemanusiaan," kata dia.
Meski Malaysia tidak memiliki gerakan terkoordinir seperti Indonesia, namun netizen setempat sudah melakukan serangan terhadap para pendukung Israel, baik di dalam maupun di luar negeri.
Misalnya salah satu serangan dilancarkan kepada pengguna X bernama @mechanics_watch - yang mengaku dari Malaysia. Dia menarik perhatian setelah menulis sebuah postingan yang menyatakan "dengan tegas mendukung Israel" dan "(tidak peduli) dengan anak-anak Palestina yang tewas".
"Saya melihat lebih jelas dan mendapatkan gambaran besarnya," kata pengguna X itu dalam postingannya Senin pekan lalu.
Menurut seorang pengguna X, beberapa warga Malaysia mengancam akan mengungkapkan identitas asli akun tersebut dan juga telah men-tag polisi serta pemerintahan lokal.
PENGAMAT: PERLU ADA KRITIKAN YANG SEIMBANG DI SINGAPURA
Di Singapura, Dr Mathew Mathews, kepala lab sosial di Institute of Policy Studies, mengatakan meski kemungkinan banyak warga Singapura yang bersimpati pada tragedi sejak dua bulan lalu itu, namun kebanyakan dari mereka berhati-hati untuk tidak terlalu vokal membicarakannya.
Hal ini karena warga Singapura menyadari bahwa isu ini sensitif, kata dia.
"Dan sebagai sebuah masyarakat, kami ingin menjaga keharmonisan dan menyadari bahwa isu ini dapat memicu perdebatan, membicarakannya bisa memicu ketegangan yang tidak kondusif bagi masyarakat," kata Mathews.
Mathews menambahkan, banyak warga Singapura yang mematuhi imbauan pemerintah untuk tidak membiarkan masalah ini memicu gesekan antar masyarakat. Warga Singapura juga menyadari bahwa pemerintah memantau situasi ini dengan saksama, terutama karena isu ini berpotensi menjadi ancaman keamanan.
Selain itu, lanjut Mathews, banyak warga Singapura dari berbagai latar belakang mendonasikan bantuan kemanusiaan bagi korban perang Israel-Hamas.
Sejauh ini, Singapura telah mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza dua kali - pertama di awal November dan yang kedua pada 30 November lalu.
Menurut Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan Singapura dalam pernyataan bersama mereka, warga Singapura telah menyumbang total lebih dari S$7 juta (Rp81 miliar) dalam bentuk uang tunai dan berbagai bentuk donasi lainnya untuk upaya pemulihan di Gaza.
Dr Syed Farid Alatas, profesor sosiologi di National University of Singapore, setuju bahwa isu ini sensitif. Namun dia mengatakan bahwa ada lebih banyak hal lain yang bisa dilakukan warga Singapura, seperti misalnya terlibat dalam diskusi soal perang Israel-Hamas.
"Tentu saja memberi bantuan kemanusiaan itu penting, tapi tidak benar jika mengatakan hanya itu yang bisa kita lakukan. Ini adalah masalah yang mungkin kita tidak boleh malu-malu (menyuarakannya)," kata dia kepada CNA.
Berbicara soal gerakan online netizen Indonesia dan Malaysia, Alatas mengatakan bahwa "kritikan seperti itu adalah hal biasa", mengingat adanya berbagai cara serupa di belahan dunia lainnya. Namun memang, di Singapura masalah ini tidak terlalu jadi perhatian.
Menteri Hukum dan Urusan Dalam Negeri Singapura K Shanmugam pekan lalu mengatakan "terlihat ada peningkatan" sentimen anti-Singapura dari para pengguna media sosial di Asia Tenggara.
Beberapa komentar yang menyerang Singapura mengatakan bahwa negara ini pro-Barat dan pro-Israel, kata Shanmugam. Komentar lainnya menyebut Singapura sebagai "Tanah Melayu", menyamakannya dengan tanah Palestina yang diduduki Israel.
Pada 17 November lalu, Kemlu Singapura mengaku "sangat menyesalkan" dampak serangan militer Israel ke rumah sakit Al Shifa. Awal Oktober lalu, Shanmugam mengatakan respons Israel harus sesuai dengan hukum internasional dan hukum perang internasional. Sikap ini juga disampaikan oleh beberapa negara terhadap Israel.
"Kami mengutuk segala jenis terorisme dan kekerasan yang tidak berperikemanusiaan. Tapi kita tidak boleh membiarkan peristiwa yang terjadi di luar sana memengaruhi situasi dalam negeri Singapura," kata dia.
Alatas mengatakan, dalam pembicaraan di dunia maya sangat penting untuk bisa membedakan antara kritikan yang rasional dan seimbang dengan kritikan yang tidak adil terhadap Singapura.
"Misalnya, sangat adil jika mengkritik Singapura karena menerima solusi dua negara, karena ini adalah wacana yang kontroversial," kata dia.
"Banyak cendekiawan dan bahkan negara yang berpendapat bahwa solusi dua negara mustahil diwujudkan dengan adanya pendudukan (Israel) di Tepi Barat, dan mengatakan bahwa satu-satunya solusi yang mungkin adalah solusi satu-negara dengan kesetaraan hak antara Yahudi, Muslim, dan Kristen. Kritikan seperti ini baru adil."
Sementara di sisi lain, netizen juga mempermasalahkan sikap pemerintah Indonesia dan Malaysia.
Para pengguna media sosial di seluruh dunia mengkritisi pemerintahan kedua negara karena dianggap kurang dalam mengecam kejahatan Hamas, termasuk pembunuhan dan penculikan warga sipil.
Beberapa netizen di Malaysia juga menyerang pemerintahan mereka karena terlalu membela Palestina.
"Saya kecewa atas banyaknya waktu yang dihabiskan parlemen kita untuk membicarakan perang ini. Malaysia tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi di sana ... sudah saatnya kita fokus pada kepentingan nasional kita," kata seorang pengguna Reddit.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.